Setiap perkara ada gantinya. Setiap perlakukan ada ganjarannya. Setiap kejadian ada hikmahnya.
-Asyilla Maharani Carolline-
Hari ini, Sandy membawa Asyilla ke ruangan gadis yang masih terbaring koma. Laki-laki itu mendorong kursi roda Asyilla untuj memasuki ruangan itu. Di sana, masih ada kedua orang tua Asyilla yang masih setia menjaganya.
“Tante, saya mau melihat keadaan Asyilla, boleh?” tanya Asyilla.Intan mengangguk. “Tentu boleh, Sayang. Ya sudah, Tante dan Om keluar dulu, ya. Sekalian mau beli makanan untuk kamu sama Sandy," ucapnya dan di angguki oleh Asyilla. “Sandy, tante titip Asyilla dulu ya.”
“Siap Tante!”
Kedua orang tua itu membiarkan Asyilla dan Sandy di ruangan itu. Sandy mencoba mendorong kursi roda Asyilla untuk mendekati brankar itu. Asyilla tampak sangat begitu tertegun, melihat tubuhnya yang terbaring tak berdaya. Seketika, air matanya keluar tanpa seizinnya.
Asyilla berusaha meraih tangan yang tergontai lemah. Namun saat kedua tangan itu saling menggenggam erat, tiba-tiba saja timbul sebuah getaran hebat dari keduanya. Sandy yang melihatnya begitu sangat panik, pasalnya Asyilla seperti orang tersetrum.
“Sisil! Sil, lo kenapa?” Sandy kebingungan. Ia tidak tahu harus melakukan apa sekarang.
Tapi siapa sangka, getaran itu akhirnya berhenti, dan membangunkan seorang gadis yang terbaring lemah di brankarnya. Gadis itu menoleh, namun ia begitu terkejut melihat dirinya ada di hadapannya. Sementara Asyilla, ia sedikit lemah dan memandangi gadis di hadapannya.
“Sa-saya sudah mati?” cicit gadis itu pelan.
Asyilla menghela nafasnya sebentar, lalu berujar, “Lo belum mati, tapi jiwa kita tertukar.”
Gadis itu terperanjat kaget. Jadi, dirinya masih hidup? Namun, hanya saja jiwa mereka tertukar?
Gadis itu kembali menatap Asyilla lemah, ia semakin merasakan kepala dan tubuhnya yang begitu sangat sakit. Beberapa kali, ia mencoba mengerjapkan matanya, dan menetralkan pandangannya yang semakin kabur.
“To-tolong rebut kembali harta saya,” cicit gadis itu pelan.
Asyila mengerutkan dahinya bingung, ia tidak mengerti apa yang di katakan oleh gadis itu. Sepertinya, ada perihal yang sangat penting untuk gadis itu katakan.
“Hah, maksudnya? Apa lo bisa ceritain semuanya sama gue?” tanya Asyilla sangat penasaran.
Gadis itu menarik nafasnya panjang. “Ha-harta saya di rampas oleh tante saya. Sa-saya di siksa oleh tante dan juga sepupu saya. To-tolong, rebut harta peninggalan orang tua saya kembali.”
Sandy dan Asyilla speechless mendengarkan perkataan gadis itu. Ternyata, gadis itu mempunyai kehidupan yang sangat kelam. Aish, betapa malangnya gadis itu. Pantas saja, ada seseorang yang mau mencelakai gadis itu. Atau jangan-jangan, pelakunya adalah tantenya?
“Sebutin identitas lo. Biar gue mudah mengambil hak lo kembali,” titah Asyilla.
“Nama saya, Anantta Senia Willsen, panggil sa-saja Atta. Saya sekolah di SMA KARYA KENCANA. 12 MIPA 1,” ucap gadis itu menghela nafasnya sebentar. “Sa-saya tinggal di perumahan elite nomor 12, ja-jalan Ahmad Yani,” lanjutnya.
Asyilla mengangguk paham, ia akan berusaha merebut kembali hak milik gadis itu dengan memanfaatkan tubuhnya. Setidaknya, selama ia di tubuh gadis itu, ia bisa menolong gadis itu.“Gue bakal nolongin lo,” ucap Asyilla menatap gadis itu.
Gadis itu tersenyum kecil. “Ma-makasih.”
Namun saat melontarkan permintaan terima kasihnya pada Asyilla, kesadaran gadis itu semakin melemah dan menutupkan matanya kembali. Asyilla dan Sandy yang melihatnya, langsung terpekik panik. Laki-laki itu langsung memencet sebuah tombol darurat yang ada di sana, agar tim medis segera memeriksa keadaan gadis itu.
Tak lama, seorang dokter dan beberapa suster memasuki ruangan itu. Hingga tangannya langsung terulur mencoba memeriksa keadaan gadis itu.
“Lebih baik kalian tunggu di luar, biar kami yang akan menangani pasien,” ucap suster itu dan di angguki oleh Sandy dan juga Asyilla.
Sandy mendorong kursi roda Asyilla dan menunggunya di luar. Tak lama, Intan dan Bisma yang baru saja datang, harus di kagetkan dengan beberapa suster yang keluar masuk dari ruangan gadis itu.
“Sandy, Asyilla kenapa, San? Kenapa banyak tim medis yang memasuki ruangan Asyilla?” Intan bertanya sangat panik, ia takut keadaan putrinya memburuk.
“Asyilla sempat sadar tadi, Tan. Cuma gak tahu kenapa, dia tiba-tiba gak sadarkan diri lagi,” jawab Sandy dengan sedikit tak enak hati.
Tak lama, seorang dokter keluar dari ruangan rawat itu. Mencoba menghampiri Intan dan juga Bisma selaku orang tuanya.
“Dokter, bagaimana keadaan putri saya?” tanya Bisma yang tak kalah khawatirnya.
“Kondisi pasien belum membaik, Pak. Dan sekarang, dia kembali ke alam bawah sadarnya. Namun Bapak dan Ibu jangan khawatir, saya akan berusaha yang terbaik untuk pasien.” Dokter itu mencoba menjelaskan dan sedikit menenangkan kedua orang tua itu agar tidak terlalu panik.
“Baik, Dok. Terima kasih!”
“Saya permisi dulu.”
Asyilla mencoba mendongakkan wajahnya ke atas, melihat Intan yang kembali meneteskan air matanya. Asyilla semakin tak kuasa melihat ibunya yang sangat mengkhawatirkannya. Tanpa Intan dan Bisma tahu, bahwa sebenarnya putrinya ada di sampingnya.
“Tante,” panggil Asyilla. Intan menoleh, dan menyeka air matanya. “Sa-saya sudah ingat nama saya. Tapi saya masih belum ingat alamat rumah saya. Sepertinya, ada sebagian ingatan yang terhapus. Dan besok, kata dokter saya juga sudah bisa pulang. Tapi saya bingung mau tinggal di mana.”
“Kalau Tante boleh tahu, nama kamu siapa? Dan kamu jangan khawatir, Tante dan Om sudah mempersiapkan kamu rumah untuk tinggal kamu,” ucap Intan sangat begitu lembut.
“Nama saya Atta, Tante. Dan sebelumnya terima kasih, Tante dan Om sudah baik sama saya. Saya akan melanjutkan hidup saya, dan membuka lembaran baru. Saya juga, akan melanjutkan sekolah baru saya.”
Sandy menyahut, “Om, Tante, Sandy boleh gak, ikut tinggal bersama Atta? Sandy mau pindah sekolah di Bandung. Supaya Sandy bisa menjaga Asyilla selama koma,” ucap Sandy memohon.
“Baiklah, Om izinkan. Asal, kamu jangan berani macam-macam sama Atta, ya. Jaga Atta selama di rumah itu,” ujar Bisma pada Sandy. “Ya sudah, Om dan Tante permisi masuk ke dalam dulu.”
Kepergian Intan dan Bisma memasuki ruangan itu kembali, membuat Sandy sedikit teringat dengan satu pikirannya yang sempat terlintas saat gadis itu menyampaikan pesan pada Asyilla.
“Gue tahu kenapa tuhan menukar jiwa dia sama lo,” ucap Sandy membuat Asyilla menaikkan dagunya seolah bertanya. “Karena tuhan pengen lo bantuin dia dan rebut kembali apa yang dia miliki. Mungkin setelah lo bisa merebut hak milik dia lagi, jiwa lo sama dia bisa kembali ke raganya masing-masing.”
“Lo bener, San! Lo sama gue harus bantuin dia,” ujar Asyilla.
Sandy mengangguk. “Tenang, gue bakal bantuin lo dalam misi ini, dan lo harus sekolah menggantikan dia di SMA Karya Kencana, untuk mempermudah menggali informasi,” jelas Sandy.
“Makasih ya, San. Lo emang sahabat terbaik gue.”
“Hari ini gue balik ke Jakarta. Gue akan urus surat perpindahan sekolah gue dulu, biar secepat mungkin kita bisa sekolah di SMA baru,” omong Sandy. “Gue antar lo ke ruangan lo dulu, ya. Setelah itu gue langsung berangkat ke Jakarta.”
Sandy mengantarkan Asyilla kembali ke ruangannya, dan membantu gadis itu berbaring di brankarnya. Sandy tersenyum, dan mengelus rambut Asyilla sangat lembut.
“Gue berangkat dulu, ya. Mumpung masih pagi. Kalau lo perlu apa-apa panggil suster.”
“Iya, lo hati-hati.”
Asyilla sedikit termenung dan melihat kepergian Sandy. Ia rasa hidupnya ke depannya, akan terasa sangat melelahkan. “Gue bakal bantuin lo, Ta. Gue juga pengen cepat-cepat kembali ke tubuh gue," gumam Asyilla bermonolog sendiri.
“Lo harus kuat di dalam tubuh, gue. Lo gak boleh nyerah, agar kita bisa sama-sama kembali ke tubuh kita,” lanjut Asyilla.
*****
Sesampainya di Jakarta pukul 11:00 WIB. Sandy langsung bergegas ke sekolahnya. Laki-laki itu sama sekali tidak pulang terlebih dahulu ke rumahnya. Lebih tepatnya, Sandy ingin segera menyelesaikan urusannya di sini.
Sekolahan terlihat sepi. Semua murid tengah melangsungkan pembelajarannya. Membuat Sandy bernafas lega, karena dirinya tidak akan mungkin bertemu dengan Kayra yang akan menanyakan tentang keadaan Asyilla.
“Assalamualaikum,” ucap Sandy saat sampai di sebuah ruangan kepala sekolah.
“Wa’alaikum salam ... masuk!” ucap Pak Hendri. Sandy pun memasuki ruangan itu dan duduk di sebuah kursi di depan gurunya. “Ternyata kamu, Sandy. Bagaimana keadaan Asyilla?” tanyanya.
“Asyilla masih koma, Pak. Maka dari itu, tujuan saya ke sini untuk keluar dari sekolah SMA Angkasa, Pak. Karena saya harus menjaga Asyilla di Bandung,” ujar Sandy. Hendry menghela nafasnya, mencoba mengerti keinginan muridnya.
“Apa kamu yakin, Sandy? Bagaimana sekolah kamu nanti?”
Sandy mengangguk mantap. “Saya sangat yakin, Pak. Saya harus menjaga sahabat saya di sana. Soal sekolah saya, saya bisa cari sekolahan lain di Bandung,” jawab Sandy. “Maaf, sudah mengecewakan pihak sekolah,” lanjutnya. Sandy menunduk, merasa sangat berat hati meninggalkan sekolahannya yang penuh banyak kenangan ini.
“Baik kalau begitu, San. Bapak tidak kecewa dengan kamu. Malah, bapak bangga dengan kamu, Sandy,” omong Pak Hendri tersenyum. Guru laki-laki itu langsung mengeluarkan sebuah surat untuk Sandy tanda tangani di sana.
“Kamu tanda tangan di bawah ini, bahwa kamu ingin mengundurkan diri dari sekolah ini,” titah Pak Hendri. Sandy pun langsung menanda tangani surat keluarnya. Apa pun akan Sandy lakukan demi Asyilla, sahabatnya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak. Saya harus buru-buru kembali ke Bandung lagi,” ucapnya permisi.
“Hati-hati!”
Kini, satu masalahnya sudah kelar. Sandy hanya perlu meminta izin pada bundanya. Berat memang, harus meninggalkan kota Jakarta ini. Namun Sandy tidak ada pilihan lain selain memutuskan untuk tinggal di Bandung untuk sementara waktu.
15 menit di perjalanan, akhirnya mobil yang di kendarai oleh Sandy sampai di halaman rumahnya. Laki-laki itu langsung segera memasuki rumahnya. Dan menemukan Ani yang tengah duduk di sebuah sofa.
“Assalamualaikum, Bunda.”
Ani menoleh, dan menemukan putranya yang baru saja datang. “Wa’alaikum salam. Akhirnya kamu pulang, Nak. Bagaimana keadaan Asyilla sekarang? Maaf, Bunda belum bisa menjenguk Asyilla kembali,” tanya Ani dengan wajah yang sangat cemas.
“Asyilla masih koma, Bun. Maka dari itu, Sandy pulang ke sini untuk minta izin sama Bunda,” lirih Sandy menunduk. Rasanya berat sekali, harus meninggalkan ibunya sendirian. Apalagi, ayah Sandy tidak pernah ada di rumah karena urusan bisnis.
“Izin apa?”
“Sandy minta izin untuk sekolah di Bandung untuk sementara waktu, Bun. Sandy harus temani Asyilla di sana. Asyilla seperti itu, karena gara-gara Sandy sendiri.” Sandy mencoba memberikan pengertian pada ibunya. Agar Ani, mampu memahami keadaannya saat ini.
Ani mengangguk. “Bunda izinkan kamu, San. Bunda minta, kamu jaga diri baik-baik di sana, ya.”
“Pasti, Bunda! Sandy janji akan sering-sering pulang ke Jakarta,” ucap Sandy dan mencium punggung tangan Ani. “Bun, Sandy pamit dulu, ya. Sandy harus segera kembali ke Bandung lagi,” lanjutnya.
“Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Kalau sudah sampai di Bandung, kabari Bunda,” ucap Ani.
“Iya Bunda.”
Ingin sekali Sandy bermalam di rumahnya. Namun, Sandy tidak mungkin berlama-lama meninggalkan Asyilla sendirian di Bandung. Sandy tidak ingin, untuk kedua kalinya Sandy melihat Asyilla kenapa-kenapa.
Thanks for reading.
Jangan lupa tinggalkan jejak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Switched Souls - Asyilla & Atta (Tamat)
Teen Fiction-Cerita ini di tulis oleh tangan yang tak pernah kau genggam- [5 part di private. Silakan follow akun ini terlebih dahulu] Asyilla Maharani Carolline, dan Ananta Senia Willsen. Keduanya harus terjebak dalam situasi yang sangat membingungkan, bahkan...