CHAPTER 1 (Unjuk Rasa!)

18.1K 1.3K 35
                                    

"Waktu dan takdir sama-sama curang, mereka bertingkah semau sendiri. Sementara aku? Tak mampu, bahkan untuk kembali!"

***

"Jangan Ra, di sana itu bahaya, apapun bisa terjadi."

Pria dengan pakaian polisi itu sekali lagi menggeleng, lebih kuat dari sebelumnya. Menatap perempuan berwajah oriental yang tetap saja sibuk bersiap-siap. Memasukan perbekalan dan kotak P3K ke dalam ranselnya.

"Lantas apa? Aku harus diam saja di rumah sementara teman-teman yang lain turun ke jalan? Come on ... kamu tahu benar aku bukan orang seperti itu!" 

Rakilla menghentikan gerakan tangannya, menatap sang kekasih dengan lelah. Sudah dua hari mereka berdebat, dan sampai saat ini belum juga mendapat titik terang. Di antara keduanya sama-sama tidak mau mengalah.

"Kamu bisa mendukung dari jauh, tidak perlu sampai ikut turun ke jalan. Lagi pula kamu ini perempuan Ra!"

"Jadi ... maksud kamu perempuan tidak bisa ikut demonstrasi?!" Pandangan Rakilla meruncing, seolah apa yang baru saja di katakan oleh sang kekasih adalah hal yang begitu menyentil egonya. 

Zhafran menghela, berbicara pada seorang gadis dengan tingkat emosional dan kebebalan tinggi itu bukan perkara mudah. 

"Cobalah mengerti Ra, aku ... aku hanya tidak ingin melawan dirimu. Aku tidak mau harus berselisih kubu," akunya.

"Kita tidak perlu berselisih, kamu dan aku cukup saling diam, tidak perlu bertatap muka selama demo itu masih berlangsung." Rakilla berusaha tersenyum. Menepuk bahu bidang pria itu seraya mulai menyampirkan tas ke punggung. Memakai topi, masker serta kacamata. Jas almamater kuning yang jadi kebanggaan melekat dengan manis di tubuh langsingnya.

"Jalankan saja peran kamu, dan aku akan menjalankan apa yang menjadi peranku juga. Setelah semua ini selesai ... kita bisa kembali bertemu dan melupakan semuanya." Lanjutnya, pamit lebih dulu bersama kawan-kawannya. Menaiki mobil Jeep untuk sampai di titik kumpul.

Zhafran menatap kepergian gadisnya di ambang pintu, kembali mengenakan helm dan bersiap pergi, menunaikan tugasnya sebagai abdi negara. 

'Semoga saja itu benar Ra ... setelah semuanya usai, kita masih bisa bertemu, melupakan semuanya.' Batinnya.

***

"Indonesia butuh bukti! Bukan janji!"

"Kalau penguasa saja sudah berani berkhianat, bagaimana dunia memperlakukan kita di masa depan nanti?!"

Rakilla berdiri di atas atap mobil bak, lantang berorasi lewat toa. Jaket almamaternya kini diselimuti dengan sempurna oleh bendera merah putih. Para pengunjukrasa berseru-seru dengan semangat. Mengelu-elukan keadilan. 

Teriakan ratusan ribu mahasiswa yang hari itu tumpah ruah di depan gedung DPR begitu membahana, mengguncang bumi. Puluhan ribu aparat kepolisian berusaha keras menekan mundur para pendemo yang nekat menerobos pagar penghalang. 

Gas air mata, water canon, bahkan tembakan di udara memenuhi langit Ibukota. Kepul asap dan api membumbung tinggi, teriakan marah serta ledakan bom molotov saling sahut.

Semula aksi unjuk rasa itu berlangsung dengan kondusif. Warna warni almamater dari ratusan universitas memenuhi jalanan, lantang menyuarakan penolakan terhadap rancangan undang-undang yang dirasa mengkhianati buruh dan rakyat kecil. 

Sayangnya situasi kondusif itu tidak berlangsung lama. Beberapa penyusup yang memang hendak mengacaukan suasana mulai melakukan tindakan anarki, melemparkan bom bertubi-tubi ke arah polisi. Mereka juga membakar dan menghancurkan mobil-mobil. 

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang