"Persamaannya hanya satu, kita sama-sama Anjing dari tuan yang sama."
***
Kerajaan Sunda, 1279 Saka
"Nyimas ... tolong berhenti, jangan lari-lari seperti itu!"
Seorang emban dengan kebaya hijau tua terlihat kelelahan mengejar-ngejar seorang gadis cantik yang tampak begitu memesona dalam balutan sinjang batik berwarna putih serta kemben hitam itu.
"Ayo Jum, cepat sedikit. Nanti berang-berangnya keburu pergi."
Gadis itu melambaikan tangan, berlari-lari kecil di antara keciprak air sungai dangkal. Pagi masih amat berkabut kala itu. Suara-suara burung yang berkicau saling sahut lebih terdengar seperti orkestra.
"Nyimas, pelan sedikit, ronce melatimu bisa rusak nanti!" Perempuan yang dipanggil Jum itu berusaha menyeimbangkan jalannya. Bagaimanapun juga ... berjalan di atas air berbatu dengan sinjang seperti ini tidaklah semudah itu.
"Ayolah, berhenti mengeluh seperti itu! Lihat, kita hampir sampai."
Gadis itu melambaikan tangan, berjongkok di balik sebuah batu besar.
"Kau ini Nyimas, lihat, bajumu jadi-"
"Psttt ... jangan berisik! Lihat ... mereka datang!"
Gadis itu mengisyaratkan dengan jari agar si emban berhenti bicara. Di depan batu besar itu, sebuah bendungan yang tercipta dari tumpukan batang pohon tumbang yang sudah berlumut terlihat begitu bening lagi indah.
Saking jernih air di dalamnya, siapapun bisa melihat dengan jelas udang-udang kecil serta kepiting dan ikan gabus berenang hilir mudik di dalamnya.
Splaash splaas ....
"Aih!"
Gadis cantik itu memekik dengan suara tertahan. Menatap belasan berang-berang yang baru saja ke luar dari dalam lubang pohon dan melompat hampir bersamaan ke dalam bendungan.
Berenang hilir mudik, celap celup.
Sungguh, pemandangan indah yang tidak akan pernah kau temukan di manapun lagi.
"Astaga ... kau ini sudah mau menikah Nyimas, tidak bisakah bertingkah lebih dewasa?" Nyai Jumsih menatap junjungannya dengan kesal.
"Jangan merajuk seperti itu Jum, aku hanya ingin menikmati hidup selagi bisa." Gadis itu bangkit dari persembunyiannya, memeras ujung kain jarik yang dia kenakan. Basah terkena air sungai.
"Gusti Prabu Linggabuwana pasti marah kalau tahu Nyimas pergi ke hutan sepagi ini hanya untuk melihat berang-berang." Emban itu mengulurkan tangan, membantu sang gadis berjalan menaiki sebuah batu lampar.
"Ayahanda akan marah jika kau memberitahu. Kalau kau diam saja siapa yang akan tahu?" Sebelah alis sabit berwarna legam itu terangkat sedikit. Bibirnya yang ranum bagai bunga peony terlihat mengukir seulas senyum penuh arti.
"Astaga ... apakah sekali lagi aku harus berbohong demi melindungi dirimu?" Emban itu merotasikan mata.
"Tentu saja tidak, kau hanya perlu diam."
"Sama saja."
"Tidak sama, diamnya seseorang tidak bisa dikatakan sebagai suatu kebohongan. Sudahlah, sebaiknya kita pulang sekarang. Aku ada janji dengan rayi Anggalarang."
Si gadis terlihat berjalan dengan santai menelurusuri bebatuan lamping di sepanjang aliran sungai. Sesekali menghentikan langkah untuk memetik sekuntum bunga yang tumbuh di sepanjang tepian sungai itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...