"Syaratnya mudah saja ... aku mau kau bunuh diri."
***
Oh, I hope some day I'll make it out of here
Even if it takes all night or a hundred years
Need a place to hide, but I can't find one near
Wanna feel alive, outside I can't fight my fear
Isn't it lovely, all alone?
Heart made of glass, my mind of stone
Tear me to pieces, skin to bone
Hello, welcome home
Hujan sekali lagi turun membasuh bumi, langit Hanwujin yang biasa cerah diselingi semilir angin pantai kali ini terasa lembab, dingin menggigit. Para gadis bangsawan dan cendekia tampak berjalan dengan tergesa, masuk ke dalam pendopo-pendopo kayu tempat guru Tenji mereka sudah menunggu.
Di area lain, para punggawa istana tampak memasuki ruangan kerja masing-masing bersama para bawahannya. Beberapa ada yang terlihat serius, lainnya tampak santai dan biasa saja.
Para emban, kusir, dan pelayan-pelayan istana lainnya jauh lebih terlihat sibuk, hilir mudik ke sana kemari menjalankan seabrek tugas, menerobos hujan hanya berpayung daun pisang. Lainnya malah cuek hujan-hujanan dengan kepala plontos tanpa takut terserang demam.
Rakilla mengamati semua aktifitas mereka dari jendela kamarnya. Berhubung bangunan pribadi ratu berada satu baris dengan aula utama istana yang letaknya memang paling atas di antara bangunan-bangunan lain, dia dengan mudahnya bisa mengamati tiap sudut istana.
"Tembang apakah yang baru saja kau dendangkan itu Nyimas?"
Suara bariton yang khas membuyarkan lamunannya, membuat Rakilla refleks menolehkan kepala. Arya Ling Shi bersama Kasim Bajwali tengah menperhatikan dirinya dengan raut tertarik sekaligus bingung.
"Lancang, kenapa masuk ke kamarku tanpa meminta izin terlebih dahulu?!" Gadis itu menyipitkan mata dengan tajam. Berusaha menyembunyikan kekagetan dari wajahnya.
"Ampun gusti ratu, saya ... saya-"
"Aku dan Kasim Bajwali sudah mengetuk pintu kamarmu Nyimas, sudah juga mengucapkan salam hormat, tapi kau sama sekali tidak mendengarkan itu."
Ucapan Kasim Bajwali yang tergagap dengan cepat dipotong oleh Arya Ling Shi. Seperti biasa, pemuda yang jadi jenderal perang Istana Merah itu sama sekali tidak terlihat gugup, mungkin di matanya Nayan Ranindra bukanlah seorang ratu, tapi hanya sahabat sejak kecilnya saja.
Rakilla mendengus kasar, mau menampilkan wibawa seperti apapun juga, di hadapan pria tengil ini tidak ada yang pernah berhasil. Beruntung para punggawa istana serta rakyat Hanwujin tidak ada yang mengikuti ketidaksopanan pria ini.
"Alasan saja! Katakan ada mau apa kalian ke kamarku?" Gadis itu bertanya dengan nada yang ketus. Lagipula ini masih terlalu pagi, belum saatnya dia masuk ke aula utama istana.
"Yang Mulia, ada beberapa hal mengenai persiapan paceklik yang harus kita bahas di sidang istana hari ini. Saya mengatakan hal ini lebih awal agar kiranya yang mulia bisa lebih dulu memikirkan solusinya." Kasim Bajwali memulai pembicaraan. Menyerahkan beberapa lembar kertas kasar berisi catatan dari gudang pangan serta peta persebaran wilayah perkebunan milik istana.
"Baiklah ... dan kau Ling Shi, apa yang hendak kau sampaikan padaku?" Giliran dia beralih kepada laki-laki tinggi yang hari itu mengenakan hanfu berwarna hijau tua dengan jubah ungu bersulam awan awan hitam. Sebuah giok berukir naga tergantung di lipatan sabuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...