CHAPTER 32 (Malaikat atau Iblis?)

1.3K 255 22
                                    

"Manusia ... jika sudah terluka, maka hanya ada dua pilihan saja. Surga ... atau Neraka."

***

Sebelum baca chapter ini author mau mengingatkan kalian semua kalau chapter ini di posting bersamaan dengan chapter lainnya sampai Ending.

Walau demikian, author sangat berharap di tiap chapternya kalian semua berkenan ninggalin komen. Dengan begitu, author akan merasa sangat dihargai dan diapresiasi karyanya.

So ...

Let begin our journey!!!

***

Rembulan untuk kesekian kali, tidak terhitung lagi jumlahnya kembali sampai di malam ke 12. Hampir sempurna bulat menggantung di atas langit malam. Memberikan kedamaian dalam hening yang menusuk dan memeluk, membelai bagai buai mimpi panjang.

Tentang hari ini, esok, lusa, dan ribuan tahu ke masa yang akan datang.

Rakilla mendongakan matanya, menatap rembulan itu dari balai bambu yang ada di depan kapuntren istana Majapahit. Sendirian ditemani secawan arak madu beraroma hujan yang kental.

Biasanya di saat seperti ini, akan ada Nyai Kedasih yang dengan suara berat khasnya mengomel panjang lebar. Mengingatkan dirinya akan kesehatan dan bahayanya angin malam.

Ah ya ... Kedasih, bagaimana kabar dirinya di atas sana? Apakah dia baik-baik saja?

Rakilla punya hutang satu nyawa dan satu tanggungjawab hidup atas Kedasih. Anaknya yang masih menempuh pendidikan di camp senjata Rakilla kirimkan ke Da-Liang atas rekomendasi dari pangeran Xiao Li.

'Dengan begitu dia akan lebih mudah menerima kepergian dari ibunya. Dia mungkin akan dididik menjadi prajurit tangguh seperti para kesatria dari Hongchuan.' Begitu Pangeran Xiao Li meyakinkan dirinya.

Rakilla menyetujui usulan itu sekalipun hati kecilnya sudah sangat yakin kalau usulan itu tidak berguna. Sebuah luka yang ditimbulkan dari kehilangan tidak akan hilang hanya karena waktu dan kesibukan.

"Ini sudah sangat larut nyimas, kenapa masih di luar? Angin malam tidaklah baik bagi kesehatan."

Teguran halus terdengar dari balik punggung gadis itu, berbarengan dengan sebuah selimut dari bulu beruang yang kini tersampir di bahunya. Menghalau dingin yang memang menggigit sampai ke tulang.

Hayam Wuruk terlihat tampan dalam balutan mantel bulu carpelainya itu. Mahkotanya tanggal, hanya menyisakan gelungan kecil di atas kepala yang mirip rumah siput. Kain sutera berwarna merah meliliti gulungan itu dengan manis.

"Aku sudah terbiasa berkali tidur di alam terbuka. Angin seperti ini bukan hal yang perlu dirisaukan."

Rakilla tersenyum tipis, merapatkan mantel yang diberikan sang raja. Anak-anak rambut yang jatuh di pelipisnya bergerak-gerak ditiup angin.

"Selamat dari kudeta serta makar berkali-kali tentu menempa dirimu menjadi pribadi yang kuat. Aku tidak akan meragukan dirimu soal ketahanan." Pria itu kembali bersuara, mengambil duduk tepat di sebelahnya. Ikut memandangi langit malam bertabur bintang.

"Gadis ini rapuh Yang Mulia, hanya pura-pura kuat agar tidak diinjak oleh orang lain saja." Rakilla mengakui, mendengus kecil dengan dirinya sendiri.

"Setiap orang pasti punya sisik terbalik dalam hidupnya. Aku juga demikian." Hayam Wuruk menghela napas pelan.

"Takut kehilangan adalah contoh yang paling nyata." Lanjutnya.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang