"Pendosa tidak berhak menghakimi pendosa lain."
***
Uhuk!
Sekali lagi, gadis itu membungkukan badan. Terbatuk di atas ranjang besarnya, menutup mulut dengan sebuah saputangan kemudian melipatnya dan menjejalkan sapu tangan itu ke balik bantal. Menyeka keringat yang meleleri pelipis putihnya.
'Racun ini sudah menyebar cukup serius Ra, benar kata Yuan Gi, kau harusnya segera pergi ke Kerajaan Sunda. Menemui tabib itu.'
Suara yang sudah hampir sebulan tidak terdengar tiba-tiba saja hadir di kepalanya.
Rakilla menghela napas, menyeka sudut bibir yang terasa basah. Meninggalkan noda merah di jari telunjuknya.
"Kau pikir dengan pergi ke kerajaan itu penyakitku akan sembuh? Tidak Nayan ... kurasa ini bukan sekadar efek dari racun yang menewaskan dirimu, tapi karena perjalanan waktu yang telah kulakukan." Gadis itu berbicara dengan nada pelan. Meraih teko kramik di atas nakas kemudian menuangkan teh jahe ke cawan miliknya.
'Yuan Gi dan Pangeran Xiao Li juga manusia dari masa depan bukan? Mereka sudah belasan tahun tinggal di masalalu, dan sampai sekarang masih baik-baik saja.'
Rakilla terkekeh, "ada perbedaan besar antara aku dan kesemua manusia dari masa depan, Dewi Amba pernah menjelaskannya sebelum meninggal, kau ingat?"
'Seorang perempuan yang melakukan perjalanan ke masa lalu pasti memiliki satu sakit dalam tubuhnya. Dan itu tidak akan bisa disembuhkan.'
Rakilla menghembuskan napas, beranjak ke sudut ruangan kemudian menggeser tombak yang ada pada sebuah patung dari besi. Membuat pintu batu yang tebal lagi kokoh itu terbuka. Setelah mengedarkan pandangan ke sekeliling gadis itu melangkah masuk dan menutup pintu.
"Aku harus bertahan ... setidaknya sampai tugasku menghancurkan pesanggrahan Bubat selesai." Gadis itu kembali berbicara, menuruni tangga batu ke dalam ruang bawah tanah. Obor-obor di sana tidak pernah padam karena Kedasih selalu memastikanya tetap menyala.
Rakilla mendekati pintu kemudian memutar kunci ke beberapa arah sekaligus. Membuat pintu ke dua yang terbuat dari baja perlahan bergeser terbuka. Menampakkan ruang baca sekaligus markas rahasia agen pengintai Hanwujin berada.
"Selain aku dan Kedasih, siapa lagi yang tahu akan ruangan ini?" Rakilla berjalan mendekati rak kayu kemudian mengambil salah satu gulungan berisi peta wilayah Majapahit serta skema penyerangan. Memperhatikannya dengan seksama.
'Tidak ada, semua mata-mata dan agen rahasia Hanwujin hanya berhubungan dengan markas pusat lewat surat dan suara. Kau lihat delapan belas kepala burung bangau di sekeliling kita?'
Rakilla mendongak, menatap ke sekeliling ruangan luas itu. Memang benar ada sekitar 18 kepala patung burung bangau.
'Setiap kepala mewakili 100 orang agen dari divisi dan distrik masing-masing.' Nayan Ranindra menjelaskan.
"Itu artinya ... astaga, kau punya seribu delapan ratus orang agen mata-mata?" Rakilla membulatkan mata.
'Kau pikir bagaimana Hanwujin bisa semaju dan semakmur ini? Aku bisa menghalalkan segala cara untuk menaklukan kekuasaan dan menjadikan setiap musuh bertekuk lutut.'
Rakilla merasakan bulu kuduknya meremang, penuturan Nayan Ranindra di kepalanya entah kenapa membuat dia sedikit bergetar. "Kau monster." Gadis itu mendesis. Meraih beberapa dokumen kemudian membaca deretan nama para pejabat kerajaan di seluruh tanah Majapahit lengkap dengan semua skandal, korupsi, dan kejahatan yang berhasil dikumpulkan oleh agen mata-mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...