CHAPTER 5 (Rumor dan Kehidupan Baru)

6.2K 648 10
                                    

"Seperti api dalam sekam, kalau tidak segera dipadamkan, yang tersisa nanti hanyalah kehancuran."

***

"Kalian sudah dengar beritanya?"

Seorang pria dengan golok besar tersampir di pinggang mulai berbicara, di depannya ada cawan tuak serta sepiring besar kalkun bakar. Dari cara dia berpakaian, sudah dipastikan pria itu adalah pendekar dari golongan hitam.

Beberapa orang di dalam kedai spontan memusatkan perhatian kepadanya, penasaran berita terbaru apakah yang dimaksudkan si pria.

"Gusti Ratu Nayan Ranindra ... Cenayan dari Istana Merah itu ... beliau hidup lagi setelah mati." Pria itu kembali berbicara, sengaja menekan suaranya dengan nada yang dramatis.

Beberapa pria yang kebanyakan pedagang serta para petani tampak kaget bukan kepalang. Sebagai rakyat di pelosok terjauh kerajaan, berita seperti itu jelas begitu mengagetkan.

"Betul! Aku juga mendengar kabar serupa tuan, bahkan ada yang mengatakan kalau Gusti Ratu Nayan Ranindra bangkit kembali setelah hampir diperabukan! Dari tubuhnya memancar cahaya yang sangat terang."

Pria lain dari bangku paling ujung di kedai kecil pinggiran desa itu turut menimpali ucapannya. Membuat orang-orang yang berkumpul di dalam kedai semakin banyak.

Ranggaweni bersama sahabat sekaligus tangan kanannya, Jaya Taksa dari Majapahit yang baru saja tiba tidak sengaja mendengar percakapan itu.

Mereka bersikap dan berdandan seperti rakyat biasa. Duduk di paling sudut kemudian memesan makanan pada perempuan tua pemilik kedai yang tampak asik bergabung bersama para pria yang asik bergosip tadi.

"Hal itu sudah jelas, bagaimanapun juga ... Gusti Ratu Nayan Ranindra bukan hanya ratu dari negara kita, tapi juga Cenayang Agung yang terkenal sakti mandraguna."

Sekali lagi, para pendekar dan pedagang itu kembali berbicara.

"Jaya Taksa ... apa mungkin ratu yang mereka bicarakan itu adalah orang yang kita cari?" Ranggaweni berbisik, mencondongkan tubuh ke arah kawannya.

"Entahlah Raden, sebaiknya kita cari tahu." Jaya Taksa balas berbisik, beranjak dari duduknya kemudian ikut bergabung, memasang wajah ramah yang dibuat-buat.

"Kisanak ... bolehkah saya bertanya siapa gerangan Cenayang yang jadi perbincangan hangat ini?" Pria berpakaian Gagampang dengan sinjang batik itu bertanya dengan sikap bersahaja.

"Gusti Ratu Nayan Ranindra, penguasa di Hanwujin ini." Salah seorang pedangan memberitahu.

"Memang kisanak sendiri berasal dari mana sampai tidak tahu ihwal nama yang tengah kami perbincangkan?"

Pendekar yang semula mengawali perbincangan tadi bertanya dengan tatapan menyipit. Mengamati pria dengan kulit yang terlalu mulus untuk ukuran rakyat biasa itu.

"Ah ... perkenalkan, saya Aryabanyu, dan yang duduk di sana itu ... dia adalah rayi-ku, Aryabumi. Berdua, kami ini pengembara dari Lumajang."

Jaya Taksa menjawab dengan raut wajah yang tetap ramah dan tenang. Sengaja menyamarkan identitas dirinya dan sang majikan untuk menghindari kemungkinan ada yang mengenali.

"Begitu rupanya ... kenalkan, aku Kebo Janggala, salah satu dari sekian banyaknya pendekar sakti di tanah Merah ini." Pria itu menepuk bahu dengan bangga, menatap kedua laki-laki pengembara itu bergiliran.

"Apa benar gusti ratu itu seorang Cenayang berdarah campuran?" Kali ini Ranggaweni yang bertanya. Hati-hati agar tidak disangka yang bukan-bukan. Bagaimanapun juga, Hanwujin terkenal dengan orang-orangnya yang bekas berandalan, rampok, serta pemberontak. Orang-orang kasar dan mudah terpancing emosi.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang