"Karena rumah, seburuk apapun bentuknya ... selalu jadi tempat terbaik untuk kembali."
***
Gadis itu tercekat, mematung dengan perasaan mengambang di tepi pintu. Menyaksikan seonggok jasad yang tinggal tulang berbalut daging. Sekilas dia tampak sudah betul-betul tak bernapas karena gerakan dadanya sama sekali tidak tertangkap mata. Walau demikian, Rakilla tahu betul perempuan paruh baya yang terbaring itu masih hidup.
"Dewi Amba ...," panggilnya pelan, melangkah ragu mendekati sisi ranjang. Para dayang dan emban yang selama ini ditugaskan untuk menjaga istri dari kepala keamanan istana Majapahit itu langsung menyingkir.
Uhuk!
Ranggaweni yang memilih diam di luar kamar terhenyak mendengar suara batuk itu. Buru-buru mendekat ke pintu, dan dia kaget melihat saat ini, ibundanya yang selama dua tahun tidak pernah membuka mata itu perlahan menggerakan kepala, menoleh ke arah gadis ber-hanfu peach sutera dengan jubah brokat kuning gading berbordirkan sulaman benang emas tiba-tiba bersimpuh di dekat kepalanya.
"N-nyimas ... k-kau datang?" Suara itu bergetar dengan amat pelan. Hampir semua orang yang ada di Kapuntren Hijau terhenyak, hendak meledak tangisnya begitu suara yang amat dirindukan selama dua tahun ini terdengar lagi.
Rakilla kebingungan, dia benar-benar kaget dengan keadaan ini, tidak menyangka kalau Dewi Amba, ibunda dari Ranggaweni akan bersikap demikian kepadanya.
"I-iya Dewi ... ini hamba." Gadis itu berusaha untuk tetap bersikap tenang. Dia beranjak duduk di sisi ranjang, mengambil lengan kanan perempuan itu kemudian merasakan denyut nadinya dengan jari telunjuk.
Lemah ....
Bahkan terlalu lemah ....
"Selama puluhan tahun aku berharap bisa menemuimu walau sekali dalam hidup, aku penasaran ... benar-benar ingin bertemu Ratu Agung dari Istana Merah yang kecantikan dan keagungannya terkenal di seantero Majapahit dan pulau Jawa ini." Perempuan itu terbatuk, walau demikian seulas senyum tidak lepas dari bibirnya.
Jemarinya yang lemah meremat lengan Rakilla dengan sisa tenaga. "Rupanya, setelah bertemu muka secara langsung ... kau ternyata jauh lebih cantik dari yang aku dengar." Lanjutnya.
Rakilla menghela napas pelan, mengalihkan lengannya ke leher perempuan itu kemudian beralih ke jantung. Degupnya lemah namun masih dikatakan normal.
"Katakan apa yang kau rasa sakit di tubuhmu ini Dewi Amba, aku ... seperti yang kau tahu sengaja diundang kemari untuk mengobati sakitmu ini." Gadis itu mengalihkan tatapan pada netra kecoklatan yang tidak terlihat bercahaya itu.
"Begitu?"
Dewi Amba terbatuk lagi, kali ini ada noda darah yang ikut ke luar bersamaan dengan dahak. Rakilla bergetar menyeka-nya dengan sapu tangan yang sudah tersedia.
"Ini sakit menahun Nyimas, baik dirimu sendiri tidak akan mampu mengobatinya." Perempuan itu berucap. Kembali meremat jemari tangan Rakilla dengan lemah.
"Jauh dari urusan hidup dan matiku ... saat ini, aku ingin kau datang bukan untuk mengobati, tapi untuk mendengarkan sebuah rahasia yang harus kau tahu." Bisiknya.
Rakilla mengerjap, melirik sekeliling ruangan kemudian mengibaskan lengan, "tinggalkan kami." Ucapnya.
Tahu diri, para emban dan dayang langsung ke luar dari dalam kamar, menutup pintu. Ranggaweni yang saat itu duduk di depan kamar bersama Jaya Taksa, Arya Ling Shi, serta Yuan Gi hanya bisa menunggu dengan raut tegang yang tidak menentu.
"Apakah ibumu mengenal Nona Yu sebelumnya Tuan? Kulihat sepertinya mereka sudah saling mengenal." Dari salah satu kursi rotan, Yuan Gi tiba-tiba bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...