"Aku dilahirkan sebagai sampah, jadi untuk apa memperdulikan ihwal benar dan salah?"
***
Alam, sekali lagi menjatuhkan air dari atas langit. Menebarkan aroma hujan bercampur kenanga, kemboja, juga magnolia. Sebuah bangunan klasik Tiongkok dengan patung kayu naga sebagai hiasan di ujung atapnya terlihat dingin lagi suram.
Seorang gadis dengan Hanfu ungu bermotif burung bangau terduduk diam di ambang sebuah dangau. Seruling tartar* yang ada di lengannya ikut diam, seolah sama-sama termenung di tengah keheningan malam.
Mei Quan Lim, gadis di dalam dangau* itu sekali lagi menghela. Menatap langit malam yang gelap lagi basah. Amat berbanding terbalik dengan kilau dan gemerlap pelita dari dalam kamar-kamar khusus pengunjung dari kelas bangsawan. Sekalipun sudah malam, kentara Paviliun Quan Lim yang dia dirikan dengan kerja keras itu masih ramai didatangi para pengunjung.
"Nyai ... ini sudah malam, apa tidak sebaiknya Nyai kembali ke kamar dan beristirahat saja?"
Seorang emban dengan Kampuh bersampir* serta sinjang batik berbahan kasar tertatih menghampiri. Membawakan jubah brokat dengan bagian leher dari bulu carpelai kemudian menyampirkan benda tersebut ke bahu sang majikan.
"Lihat ... bahkan saat hujan seperti ini para bajingan itu bersemangat sekali memburu gadis-gadis muda yang ada di Paviliun kita. Menjijikan!"
Mei Quan Lim menaikan sudut bibir, tersenyum miris sekaligus jijik. Menatap seorang pria yang dia yakini adalah punggawa* dari sebuah kerajaan besar menggandeng seorang gadis masuk ke salah satu bilik kamar. Beberapa pelayan mengikuti dari belakang dengan napan berisi cawan dan teko kramik berisi arak.
"Kau tahu Sekartaji? Di mataku mereka lebih mirip Anjing Kurap dibanding manusia." Gadis itu melanjutkan, kedua tangannya merapatkan jubah yang diberikan sang emban. Perlahan bangkit dari posisinya yang tidak berubah sejak satu jam lalu itu.
"Saya sudah sering mengingatkan, Nyai harusnya diam di kamar pada jam-jam seperti ini."
Perempuan yang dipanggil Sekartaji itu menghela, mengangkat ujung jubah yang dikenakan Mei Quan Lim agar tidak menyapu tanah saat berjalan. Dari nada suaranya, sudah jelas kalau dia tidak nyaman dengan perkataan majikannya.
"Kenapa? Kau tidak suka kalau kupanggil para hidung belang itu sebagai Anjing?" Mei Quan Lim menaikan sebelah alisnya, melirik emban yang sudah bertahun-tahun mengabdi kepadanya itu.
"Yang Nyai sebut sebagai Anjing itu adalah mereka yang membuat Paviliun Quan Lim tetap berdiri sampai sekarang. Memastikan puluhan dapur para pekerja tetap mengepul di pagi hari juga senja." Sekartaji berbicara dengan nada sarkas.
"Aiyo ... semakin hari kau semakin pintar saja merangkai kata, tak salah rasanya kubiarkan kau ikut pendidikan Empu Talatar setiap pekan." Mei Quan Lim menggelengkan kepala, tersenyum senang.
"Lagi-lagi Nyai menyindirku!" Gadis yang lebih muda dua tiga tahun dari Mei Quan Lim itu memasang wajah merajuk. Karena sudah sangat dekat, hubungan diantara emban dan junjungan tak ubahnya seperti saudara.
Mereka baru saja hendak kembali ke dalam kamar, namun langkah Mei Quan Lim mendadak berhenti. Di depan lorong, dua orang pemuda berpakaian sederhana tampak berjalan dengan santai. Membawa buntal kain merah yang tersampir di bahu.
"Siapa mereka Sekar? Aku baru pertamakalinya melihat wajah-wajah itu di Paviliun ini." Mei Quan Lim berbisik, meperhatikan dua pria tampan yang berbincang dengan akrab, memasuki sebuah kamar.
"Entahlah Nyai ... mungkin para pengelana yang hendak menginap saja." Gadis itu menjawab tanpa lepas menatap sosok-sosok pria tampan yang bahkan sudah hilang dibalik pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Ficção HistóricaWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...