"Bahkan saat dilempar ke air selokan ... mutiara tetap saja mutiara."
***
"Raden, ada apa ini? Kenapa-"
"Minggir kau tua bangka!"
Juan Hong mendorong tubuh Kedasih dengan kasar. Tatapan matanya begitu tajam menusuk, terpaku pada gadis yang kini sudah duduk tegak di atas ranjang besarnya itu. Menatap tanpa ekspresi.
'Dia Juan Hong, kakak tertuaku. Pria kejam, sangat membenci aku sejak dulu.'
Bisikan di dalam kepala itu kembali terdengar. Namun kali ini tidak disertai rasa sakit, Rakilla menghela napas, dari gelagatnya saja dia sudah tahu kalau pria dengan hanfu duka cita itu bukanlah pria dengan hati tulus dan penuh kebaikan.
"Kau mau apa?" Gadis itu menaikan sebelah alisnya. Mengangkat satu kaki di atas sementara kaki lainnya dilipat, di dunia sebelumnya, dia sering melihat gaya duduk seperti itu ditunjukan oleh para preman pasar yang asik berjudi.
Untuk sejenak, dilupakan dulu urusan tentang siapa dan sebetulnya apa yang terjadi kepada dirinya itu.
"Kau ... siapa kau sebenarnya?" Juan Hong menghunuskan pedang ke arahnya. Jelas sekali dia kaget dengan nada bicara Nayan Ranindra yang berubah jadi cuek seperti itu.
"Bukankah sudah jelas? Aku Nayan Ranindra, adik bungsumu, Ratu dari Istana Merah, pemimpin Hanwujin pilihan ibunda Rara Pandira. Kenapa masih bertanya kanda?" Gadis itu menaikan intonasi suaranya dengan amat teratur. Menekan tiap suku kata dengan amat jelas.
Untung saja tadi perempuan tua bernama Kedasih itu sudah menjelaskan garis besar dari siapa dirinya itu.
"Bagaimana ... bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi? Kau sudah mati dinda!"
"Kanda ... Adikmu ini baru saja lolos dari lubang kematian, kenapa kau sama sekali tidak terlihat bahagia? Apa kau lebih senang kalau aku mati?"
Juan Hong tampak salah tingkah, menurunkan pedang yang dihunuskannya dengan bergetar. "Bukan begitu dinda, aku ... aku hanya merasa heran, aku takut kau sebenarnya bukan Nayan Ranindra adikku, kau hanya roh jahat yang kebetulan menempel ditubuhnya saja." Pria itu menjelaskan.
'Kau memang benar,' gadis itu membatin.
"Benarkah?" Rakilla menelengkan kepalanya. Menatap sang kakak dengan tatapan menggoda, seolah ucapan yang didengarnya hanya sebatas lelucon saja.
"Tentu saja." Pria itu mengangguk cepat. Entah kenapa saat ini aura Nayan Ranindra berubah, tidak lagi selembut dan setenang dulu.
"Baiklah ... sekarang tolong tinggalkan aku, ini sudah larut malam kanda ... aku harus brristirahat." Gadis itu tanpa permisi kembali membaringkan tubuhnya, pura-pura memejamkan mata.
Juan Hong mengepalkan lengan dengan marah, seumur hidup, ini kali pertama Nayan Ranindra berani mengusirnya.
"Kenapa masih berdiri di sana?"
Gadis itu kembali bersuara, membuat Juan Hong spontan mengalihkan pandangan, mengangguk hormat sebelum berbalik. Meninggalkan kamar dengan langkah kaki yang panjang-panjang.
Kedasih mengehela napas lega, sudut bibirnya terangkat. Entah kenapa dia menyukai perubahan sikap dari junjungannya itu. Tidak lagi lemah seperti dulu.
"Kau juga Kedasih, kenapa masih berdiri di situ?"
Kedasih mengerjap, "a-apa?"
"Bukankah tadi aku minta dibuatkan sayur bayam merah atau kubis merah?" Gadis itu membuka matanya, menaikan sebelah alis dengan wajah yang tetap saja datar tanpa ekspresi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...