CHAPTER 34 (Pesanggrahan Bubat)

1.2K 216 15
                                    

"Maka ... di tanah inilah suatu saat kisahmu akan ditulis dalam tinta sejarah."

***

(I hear this  song when i was writing this chapter: Lie -Park Jimin BTS)

Selasa Wage, 4 September 1279 Saka

Sebuah Poade besar dengan begitu banyak hiasan dari kain sutera, brokat, serta bunga-bungaan tampak megah berdiri di depan Pesanggrahan. Para punggawa kerajaan, menteri, putri, ratu, serta pangeran-pangeran muda kerajaan Majapahit sudah bersiap di sana, memakai pakaian indah yang bisa menerbitkan rasa iri semua orang.

Musik gamelan serta para penari menambah kesan meriah dari hajatan besar yang akan segera dimulai beberapa saat lagi.

Hayam Wuruk sudah gagah dengan busana pengantin khas raja yang dia kenakan. Duduk di atas singgah sana berlapis emas yang berkilau biar ditatap dari kejauhan.

Berusaha terlihat tenang namun tetap saja ... getar di antara kedua tangannya tidak bisa disembunyikan.

"Yang Mulia sepertinya sudah tidak sabar ingin segera bertemu muka dengan Putri dari Kawali."

Seorang gadis cantik tiba-tiba menegurnya, tersenyum manis seraya duduk di salah satu kursi yang ada dekat dengan singgah sana.

Dialah Paduka Sori, salah satu sepupu dari Maharaja.

"A-apa? Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak-"

"Tidak apa? Tidak sabar bukan?" Paduka Sori masih memasang tampang menggoda. Dia begitu merasa terhibur melihat wajah salah tingkah dari Maharaja di hadapannya.

"Sudah cukup Nyimas, berhenti menggodaku seperti itu!" Hayam Wuruk mengibaskan lengannya.

Saat ini rasa khawatir dan bimbang lebih menguasai hati dan pikirannya ketimbang dengan rasa penasaran.

Dia khawatir ... usulan dari Mahapatih Gajah Mada akan membuat pernikahan ini berantakan. Dia khawatir akan ada hal yang tidak diinginkan terjadi.

Dan lagi kemana ratu Hanwujin  pergi? Kenapa dia menghilang begitu saja tanpa memperdulikan gaun yang sudah disiapkannya?

Hanya meninggalkan sebuah pesan yang baru bisa dibaca setelah hari ini berakhir.

"Ada apa sebetulnya ini Nyimas? Kenapa kau pergi begitu saja?" Lirihnya.

"Siapa Yang Mulia? Siapa yang-"

Koak!

Koak!

Koak!

Pertanyaan dari gadis itu terputus oleh kepak sayap dan koak burung di atas langit sana.

Semua orang termasuk Maharaja mendongakan kepala, kaget bukan main melihat sekawanan gagak dengan jumlah besar tiba-tiba terbang rendah di atas langit Pesanggrahan bubat itu. Berkaok seperti hendak mencabik langit dan meremukan awan.

Gemuruh angin kencang dari barat kerajaan berhembus dengan kuat, membuat tirai-tirai brokat pada poade besar itu berkibaran.

Siapapun ... pada saat itu merasakan remang yang sama pada bulu kuduknya.

"Ini ... ini bukan pertanda baik Yang Mulia," Paduka Sori berpegangan pada salah satu pilar dengan wajah cemas.

Hayam Wuruk menelan ludah, hal ini jelas semakin menambah ketakutan dan kekhawatirannya.

Suasana ini ... amat kental dengan aroma kehancuran dan peperangan.

Aroma kematian ....

"Dewata Agung ... beritahu aku, apa sebetulnya yang terjadi? Pertanda apakah semua ini?" Pria itu bermunajat dengan putus asa, menatap awan gelap yang bergulung dengan tebal di arah barat sana, kian berarak mendekat.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang