"Bahkan hingga saat ini ... aku masih tidak mengerti, kenapa Tuhan melahirkan diriku ke atas bumi."
***
Gemericik aliran sungai yang turun melaui celah-celah batu terdengar nyaring di telinga. Semilir angin petang yang berhembus seakan jadi melodi mistis pengantar tidur. Aroma mawar bercampur kenanga memenuhi indera penciuman.
Harusnya begitu menenangkan, tapi nyatanya tidak begitu.
Sudah setengah jam sejak Rakilla memutuskan berendam di kolam air pribadi yang ada di taman belakang istananya. Mencoba untuk memejamkan mata, mengistirahatkan tubuh yang terlampau lelah dibawa bepergian jauh selama belasan hari.
Sayangnya kantuk tidak juga kunjung datang, tiap kali kelopak matanya tertutup, maka bayang-bayang rumit itu kembali berkelebatan. Mimpi-mimpinya ... pertemuan dengan Ranindra ... ucapan dari Yuan Gi, serta berbagai persoalan istana rasanya begitu menusuk-nusuk kepala.
"Apa kau sudah gila? Bagaimana bisa aku menghancurkan kerajaanku sendiri?!" Rakilla memekik kaget.
Di seberangnya, Yuan Gi yang malam itu entah datang dari mana masih tampak tenang, tidak tertekan apalagi kesal seperti yang tengah terjadi padanya. "Kau bukan ratu mereka Rakilla, sama sepertiku ... kita ini pada dasarnya hanyalah parasit yang menempel pada tubuh orang yang sudah mati."
"Lantas aku harus apa? Membumi hanguskan tanah merah? Menurunkan hujan darah sampai semua orang yang mengetahui nama Hanwujin hilang ditelan bumi?" Gadis itu menatap lawan bicaranya dengan frustasi.
"Tidak Yuan Gi, aku tidak bisa melakukan itu ... aku tidak mungkin menghancurkan kehidupan ribuan nyawa tak berdosa." Gadis itu menggeleng kuat.
"Dan membiarkan masa depan hancur tak bersisa?" Yuan Gi balas menatapnya. Membuat gadis itu kehilangan kata-kata.
"Kau jangan sampai lupa akan satu hal Ra, Manusia Kiriman Langit ... jika tidak berhasil menjalankan tugas, maka selama sisa hidupnya dia akan terkutuk, diberi hukuman untuk terus hidup, menyaksikan kematian dari setiap orang yang dia cintai di tiap kelahiran. Tidak kah kau takut akan hal itu?"
Gadis itu menunduk, untuk pertama kali dia merasa benar-benar tidak berdaya, merasa benar-benar menjadi boneka dari sosok yang entah apa dan bagaimana wujudnya.
"Aku tahu ini sulit ... tapi mari lakukan ini bersama-sama." Yuan Gi meraih jemari lentik gadis itu kemudian merematnya dengan kuat.
"Aku akan di sini ... bersamamu." Lanjutnya.
"Nyimas?"
Rakilla mengerjap, susah payah membuka mata. Kedasih berdiri tak jauh dari kolam tempat gadis itu berendam. Di tangannya sebuah jubah dari satin serta beberapa kain jarik tersampir. "Ini sudah hampir malam, tidak baik bagi kesehatan berendam terlalu lama." Perempuan tua yang rambutnya sudah hampir putih semua itu berjalan mendekat, mengasongkan sebuah kain jarik yang panjang lagi tebal.
Rakilla melangkah tanpa sehelai benangpun keluar dari dalam kolam, meraih kain itu kemudian melilitkannya pada tubuh molek serupa porselen China yang tampak berkilau itu. Seolah Tuhan dengan sengaja menjatuhkan keindahan hanya di tubuhnya saja.
Kedasih kemudian menyelimutkan jubah satin berwarna putih tadi untuk menutupi bahu dari junjungannya.
"Urusan di desa Gampar bagaimana Kedasih? Apakah kau sudah dengar kabar terbaru?" Gadis itu berjalan dengan santai menapaki ubin-ubin dari batu alam. Memasuki wilayah tertutup istana yang tersambung langsung ke dalam kamarnya.
"Menurut salah satu penjaga Istana, pagi tadi Juan Hang bersama Kasim Yu sudah pergi ke sana, mereka katanya juga membawa serta sekitar dua ratus prajurit." Kedasih mengangkat ujung tepian jubah yang dikenakan junjungannya. Mengikuti langkah gadis itu dari belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Historical FictionWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...