CHAPTER 3 (Inkarnasi)

8.1K 821 11
                                    

"Tuhan selalu punya rencana tidak terduga, tentang kematian, tentang kehidupan ... bahkan tentang hal menakjubkan di antara keduanya."

***

"Yang mulia ... Mahapatih Gajah Mada mengirimkan surat." Seorang prajurit datang bersama pengirim pesan.

"Kemarikan."

Pria tampan dengan Mahabhusana Rajakaputraan Wilwatiktapura* itu memberi isyarat agar sang pengirim pesan mendekat. Dialah Hayam Wuruk, raja dari Majapahit yang baru saja dinobatkan. Menggantikan Ratu Tribuwanatunggadewi.

Pengirim pesan itu mengeluarkan selembar daun lontar dari dalam tabung bambu di punggungnya kemudian memberikan itu kepada sang raja.

"Pergilah."

Begitu daun lontar sudah di tangan. Raja Hayam Wuruk mengibaskan lengan, pengirim pesan itu undur diri, bergegas meninggalkan singgah sana.

Hayam Wuruk membaca tulisan di atas daun itu dengan seksama. Rupanya, Mahapatih kebanggaan Majapahit itu mengabarkan tentang mangkatnya penguasa Istana Merah yang ada di barat Majapahit.

"Apa pesan dari Mahapatih, Yang Mulia?"

Salah seorang patih yang ada di istana bertanya.

"Dia mengabariku tentang kematian dari penguasa Hanwujin, Nayan Ranindra. Putri Ming Xue Fu dan Rara Pandira." Hayam Wuruk menjelaskan. Sekali lagi teringat akan Cenayang muda berdarah campuran itu. Dia beberapa kali bertemu dengan sang gadis di jamuan resmi kerajaan.

"Nayan Ranindra ... Cenayan dari barat itu? Jagad Dewata ... dia bahkan masih sangat muda." Sang patih menggelengkan kepala dengan prihatin.

"Kau benar patih. Tapi ... itulah umur manusia, tidak tua tidak muda ... jika waktunya sudah tiba, jelas dia tidak akan bisa menolak apa itu kematian." Sang Raja menganggukan kepala.

"Apakah Yang Mulia Raja akan pergi ke sana? Mengikuti upacara perabuan?"

"Tentu saja tidak, hal seperti itu akan menimbulkan kecemburuan dari Paduka Bharatta yang lain. Apalagi Hanwujin adalah satu-satunya negara dengan penduduk berdarah campuran terbanyak. Kalau aku terang-terangan menjalin hubungan dekat dengan kerajaan itu, sudah pasti akan timbul banyak spekulasi." Jelasnya.

"Tapi Yang Mulia, kalau Majapahit tidak turut serta, itupun akan jadi hal yang kurang baik. Istana Merah pasti akan menganggap ketidakhadiran kita sebagai suatu permusuhan. Sebagai negara dengan banyak berandalan serta bekas pemberontak, Hanwujin akan sangat mudah melakukan pemberontakan lagi. Apalagi ini adalah kematian dari penguasa mereka."

"Kau tidak perlu khawatir patih, aku rasa ... Mahapatih Gajah Mada sendirilah yang akan mencarikan jalan keluar untuk kita." Raja Hayam Wuruk tersenyum tipis.

***

Di Aula Keheningan istana Merah, kayu sudah ditumpuk dengan sedemikian rupa.  Tirai-tirai putih diturunkan, genta kesedihan menggema di sekeliling istana.

Para abdi, menteri, bahkan rakyat jelata duduk bersimpuh dengan tersedu di atas tanah, memakai pakaian putih dari kain kasar. Menangisi usungan jenazah yang keluar dari istana. Ratu mereka terbaring kaku di dalam peti mati.

Tiba di tengah aula, para pengsung jenazah itu kemudian membuka peti, mengeluarkan sang ratu kemudian membaringkannya di atas kayu perabuan.

Sekalipun telah berubah menjadi mayat, kecantikannya yang tidak tertandingi tetap saja begitu memukau hati. Dalam balutan Hanfu berwarna hitam dengan ukiran burung hong dan naga. Nayan Ranindra tak ubahnya seorang bidadari yang tengah tidur dalam buai mimpi panjang.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang