"Dan sebuah luka akan terasa kian sakit ketika ... untuk membersihkanya kau juga harus membuat luka lain."
***
"Sial dari mana orang-orang ini berasal?!"
Ling Shi mengumpat, tergesa membantu junjungannya bangun dari posisi memalukan sekaligus ambigu itu. Jika saja bukan karena terpaksa, tentu Ling Shi tidak akan pernah berani melakukan hal sekurang ajar itu, menindih ratunya sendiri sampai tubuh mereka menempel seperti tadi.
Sayangnya, melihat anak panah itu melesat dengan cepat, mengincar pelipis kiri dari Ranindra, Ling Shi tidak punya pilihan lain.
Rakilla menarik napas panjang, kekagetan itu hanya sekejap, berganti rasa marah luar biasa. Dicengkramnya kepala pedang bulan yang masih tertanam dalam warangka itu dengan erat. Nasi dan lauk yang semula hendak masuk ke dalam lambung kini berserakan tidak berbentuk.
Namun sungguh, bukan perkara nasi secentong yang membuatnya kesal. Melainkan karena dia amat tahu siapa sebetulnya yang mengirimkan orang-orang ini.
"Kalian mau apa sebetulnya hah?!" Jaya Taksa berteriak dengan lantang, tidak terlihat gentar sedikitpun. Menatap sepasukan bandit bertopeng itu dengan wajah muak.
Dari sekian banyak orang, tidak ada satupun yang menjawab teriakannya. Seperti semula, mereka hanya diam dengan pedang dan panah terhunus saja. Walau demikian, andai dilihat oleh rakyat biasa, tentu mereka semua begitu menakutkan, amat sangat menakutkan seperti layaknya pasukan malaikat pencabut nyawa.
"Kenapa harus menunggu keluar dari istana? Kalau mau, tuan kalian bisa membunuhku di tempat tidur kapan saja."
Semua orang menoleh, kaget dengan penuturan tiba-tiba dari gadis yang di apit oleh ketiga pendekar itu. Lebih kaget lagi ketika dia tanpa rasa takut melangkah maju. Menghampiri para pembunuh itu.
"Nyimas! Apa yang kau lakukan?!"
Arya Ling Shi berusaha mengejar, hendak menarik kembali gadis itu namun Rakilla lebih dulu mengangkat tangan. Sebuah tanda yang sampai detik ini tidak pernah bisa dibantah oleh siapapun juga.
Para pemburu itu serta merta mengarahkan semua senjata ke arah sang gadis. Bersiap menghancurkan tubuh mungilnya dari segala sisi.
'Aku tahu kau hebat Ra, tapi tidak untuk menaklukan serangan sebanyak ini seorang diri.' Dari dalam kepalanya, Nayan Ranindra kembali berbicara.
'Jadi ... sampai saat ini kau masih meragukan kemampuanku Ranindra?' Gadis itu balas bertanya. Tersenyum dengan skeptis.
'Bukan begitu ... hanya saja-'
'Kau tahu benar aku bukan dirimu, sekalipun terperangkap dalam tubuh yang sama, pada kenyataannya adalah ... aku tetap orang lain. Dan kau tidak akan tahu sampai di mana batas kemampuanku.' Gadis itu mendesah pelan.
Dia lantas melirik para pendekar di belakangnya. "Aku tahu ... kalian semua kuat, bahkan lebih kuat dariku. Tapi ini bukan pertempuran kalian, jadi tolong jangan-"
"Tidak nyimas! Pertarunganmu adalah pertarunganku juga!" Ling Shi memangkas ucapannya dengan marah. Tergesa mendekat namun sekali lagi gadis itu mengangkat lengan; "kau hanya akan membantu diriku saat bahaya mengancam. Jadi jangan coba mendekat selama aku masih bisa berdiri di atas dua kaki." Tandas dan Final. Ling Shi tidak lagi bisa menahannya.
"Tuan Arya, apa benar kita harus diam saja?" Ranggaweni menatap pria di sebelahnya dengan kesal. Sejak tadi dia ingin membantu gadis Cenayan itu tapi Jaya Taksa mencegahnya.
"Jangan ikut campur raden, Gusti Ratu pasti punya maksud di balik tindakannya." Pria itu terlihat lebih tenang. Setelah apa yang diperhatikan dirinya saat ini, dia betul-betul ingin tahu di mana batas kemampuan Nayan Ranindra.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Fiksi SejarahWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...