"Setiap darah yang tertumpah ... selalu meminta tumbal sebagai balasan."
***
Hujan turun selembut embun, menari diantara semilir angin yang menerbarkan aroma anyir darah bercampur rerumputan basah.
Rakilla melangkahkan kaki dengan getas, menatap ratusan jasad yang bergelimpangan dan bertumpuk sejauh mata memandang.
Luka tebas, bagian tubuh yang terpotong, sisa-sisa tangis dan kemarahan di wajah terakhir mereka perlahan terbasuh oleh rintik-rintik air dari langit itu.
Seperti isak tertahan dari seseorang yang tengah kehilangan.
Tidak ada satupun orang-orang dari kerajaan sunda yang selamat dari tragedi itu.
Mereka semua tewas sebagai kesatria.
Hayam wuruk terlihat masih terisak-isak seraya memeluk jenazah dari sang kekasih yang kini sudah pucat bagai bulan. Mengelukan namanya bagai seorang pesakitan yang mengemis akan bantuan.
Rakilla melangkah mendekat, berdiri menjulang di hadapannya dengan wajah bergeming.
"Bagaimana pernikahanmu Maharaja? Meriah?" Tegurnya.
Pria itu mengangkat kepala, menatap ratu dalam jubah kebesaran itu dengan pandangan mati.
"Kenapa Nyimas? Kenapa jadi seperti ini?" Lirihnya.
Rakilla tersenyum kecil, berjongkok di hadapan jasad dari Dyah Pitaloka kemudian tanpa permisi mencabut Buyao di jantungnya. Memperhatikan warna merah dari darah segar yang sedikit demi sedikit luntur oleh rintik air hujan.
"Penyesalan dan rasa bersalah tidak pernah muncul di awal Yang Mulia." Gadis itu berucap lirih, melirik belasan perempuan yang terbaring tak bernyawa di atas tanah berumput itu.
"Aku sudah memperingatkan Dyah Pitaloka agar dia memikirkan sendiri jalan keluar dari takdir buruk ini." Gadis itu melanjutkan, menyalipkan anak rambut dari pelipis sang putri ke selah telinganya.
Hayam Wuruk mengerutkan dahi, menatap tajam ke sepasang bola mata dengan kornea onyx sebening embun itu.
"Apakah ... kau baru saja bilang kalau kau tahu ini semua akan terjadi?"
Rakilla tidak menjawab, berdiri dari posisinya kemudian mendongakan kepala ke atas langit. Membiarkan wajah ayunya terkena tampias hujan.
"Kau sudah menerima gulunganku?" Gadis itu balas bertanya, melirik sejenak pada pria yang masih tajam memperhatikan dirinya.
Hayam Muruk mengangguk kaku.
"Semua pertanyaanmu atas diriku ... kejadian ini, Gajah Mada ... juga segalanya akan kau ketahui dari sana." Pungkas Rakilla seraya menyematkan Buyao itu di gulungan rambutnya. Berbalik pergi meninggalkan sang raja yang masih terpaku di tempatnya.
"Kau mau ke mana?"
Suara Hayam Wuruk terdengar lagi di antara deru angin.
Rakilla menghentikan langkah, "tugasku sudah selesai, untuk apa tetap bertahan di sini?"
Selama beberapa saat, yang hadir di antara mereka berdua hanya keheningan.
"Karma ... kau tahu, atas apa yang terjadi hari ini-"
"Aku tahu itu Yang Mulia," Rakilla memangkas ucapan itu lebih dulu, melirik sang raja dengan ekor matanya.
"Semua pendosa pasti akan mendapat karma atas apa yang telah dia perbuat." Gadis itu melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
HistoryczneWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...