CHAPTER 37 (Epilog : Rumpang)

3.6K 291 25
                                    

"Hal yang paling menyakitkan dari sebuah perpisahan adalah ... ketika kau lupa, dengan siapa kau berpisah."

***

(I hear this song when i was write this chapter : The Truth Untold -BTS)

Majapahit, September pekan ke dua 1280 Saka

Iring-iringan kereta kuda berhias kain brokat itu sudah hampir sampai di kaki gunung semeru. Hari ini ... sesuai kesepakatan dengan penguasa dari 'Kota Baru' Maharaja Hayam Wuruk akan melakukan kunjungan pertamanya ke sana. Sekaligus peletakan batu pertama pembangunan sebuah biara di sana.

"Anda serius tidak akan mengabarkan keberangkatan ini pada Mahapatih Gajah Mada, Yang Mulia?"

Seorang perempuan cantik berpakaian khas ratu bertanya dengan nada yang lembut. Duduk di sebelahnya dengan sikap manis.

Ah ya, di memang sangat manis. Walau tidak secantik seseorang di masa lalu itu.

"Tidak perlu, beliau sudah sangat tua sekarang ... sudah waktunya pensiun dari memikirkan hal-hal politis seperti ini."

Hayam Wuruk menggelengkan kepala, menghela napas seraya menolehkan kepala. Menatap pemandangan asri di luar jendela kereta kuda itu.

Ya ... sejak tragedi mengerikan di Pesanggrahan Bubat itu. Hubungan Hayam Wuruk dengan Mahapatihnya tidak pernah sama lagi.

Dia memutuskan untuk mengirim Gajah Mada ke tempat peristirahatan. Sebagai hukuman karena sudah bertindak sangat gegabah dengan mengambil keputusan secara sepihak.

Sebetulnya ... dia sendiri tidak bisa mengingat semuanya dengan baik, banyak sekali penggalan memori yang entah kenapa serasa rumpang.

Dyah Pitaloka, gadis dari kerajaan Sunda itu sewaktu diperabukan memiliki luka tusuk di jantung yang sangat dalam. Seperti perempuan lain yang melakukan bela pati, dia menikam dadanya sendiri dengan sebuah tusuk konde.

Tapi entah kenapa ... tusuk konde itu tidak ada di tubuhnya.

"Apakah utusan dari Bali sudah kembali dari Kawali?"

Paduka Sori, sang istri dari Maharaja kembali bertanya. Kali ini Hayam Wuruk hanya menggeleng dengan lemah.

"Belum, sejak kukirimkan mereka sebagai utusan pengirim abu ke Kawali. Tidak ada kabar lagi. Mungkin ... mereka masih sibuk menuliskan tragedi itu dalam Kidung Sundayana-nya." Jelas Hayam Wuruk.

Paduka Sori meraih jemari tangan yang dingin dari sang suami, merematnya dengan kuat.

"Memang sulit memperbaiki hubungan yang sudah rusak, Yang Mulia. Kita tidak bisa memaksakan diri meminta Kawali untuk memaafkan tragedi yang terjadi. Apalagi ... saat ini Anggalarang masih sangat muda, kelak, jika dia lebih dewasa ... dia akan bisa memahami yang terjadi di hari itu."

Hayam Wuruk berusaha tersenyum tipis sekalipun senyum itu kentara hambarnya.

Bagaimanalah akan dimaafkan? Dia sudah membantai habis keluarga dari seorang anak berusia 9 tahun tanpa ampun. Sampai Matahari terbit dari barat-pun, rasanya pengampunan itu tidak akan pernah diberikan.

"Aku selalu Berpikir ... kenapa? Kenapa Mahapatih bisa melakukan sesuatu yang segegabah itu? Bagaimana bisa dia mengubah pernikahan diriku menjadi hujan darah seperti itu?" Hayam Wuruk tampak menerawang. Menatap deretan pohon Peony yang daunnya mulai berguguran.

Sebuah tanda kalau sebentar lagi akan sampai di Kota Baru.

"Sudahlah ... tidak usah membahas yang sudah lalu." Pria itu menggelengkan kepalanya, mengeluarkan salah satu tangan dari dalam jendela. Selembar kelopak bunga Peony tiba-tiba saja mendarat di telapak tangannya itu.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang