"Ketika kehidupan tak lebih mahal dari seikat rumput, apa salahnya menanam biji yang lebih banyak?"
***
Di negeri yang sama, 650 tahun sebelum kematian Rakilla.
Sebuah rombongan berburu tengah mencari air untuk minum dan beristirahat. Mereka adalah rombongan dari Hanwujin*, sebuah kerajaan kecil di barat daya Majapahit. Nayan Ranindra, pemimpin dari kerajaan itu adalah seorang Cenayang* berdarah campuran sekaligus perempuan lajang pertama yang berhasil duduk menjadi Paduka Bharatta*.
"Nyimas, di depan sana terdapat sebuah cekungan air yang sangat besar. Kita bisa mengambil air dan beristirahat di sana."
Seorang kepala prajurit dengan tameng dada berukir naga dan burung hong menghampiri perempuan yang tengah duduk dengan anggun di atas kuda putihnya.
"Ah ... begitu rupanya, baiklah ... pimpin jalan ke sana, kita akan beristirahat di tempat itu malam ini."
Perempuan itu menjawab dengan suara merdu serupa seruling kayu ... senyum manis yang terkembang di bibir ranumnya tidak pernah hilang walau sesaat.
"Baik Nyimas." Prajurit itu menyilangkan tangan di dada, mengangguk hormat sebelum kembali ke barisan paling depan.
"Prajurit, ayo ... kita lanjutkan perjalanan!" Serunya tegas. Menaiki kembali kuda jantan miliknya kemudian memimpin jalan. Iring-iringan itu berbaris mengikuti.
"Sudah seharian kita berangkat dari Istana, tapi Nyimas sama sekali tidak berkeringat alapagi kelelahan."
Perempuan tua yang berjalan di sebelah kuda tampak mendongak. Menatap junjungannya yang terlihat amat cantik dalam balutan Hanfu* berwarna putih dari kain sutera bersulam bunga lotus dan burung bagau dari benang perak itu dengan raut heran campur takjub.
"Aku bermimpi hal yang sangat unik tadi malam Kedasih." Gadis itu menjawab, pandangannya menerawang ke ujung cakrawala, seolah menembus batas-batas waktu dan ruang yang ada di dunia.
"Mimpi?"
"Betul. Aku bermimpi ... bahwa kematianku akan segera tiba." Lanjutnya, masih tampak tenang seolah kematian bukanlah hal yang perlu di risaukan.
"Berhenti!"
Nyai Kedasih tiba-tiba berteriak lantang. Membuat iring-iringan mendadak menghentikan langkah. Para pengawal spontan menarik tali kekang kuda hingga binatang itu meringkik kaget.
"Kenapa Kedasih? Adakah yang salah dalam tutur kataku ini?" Nayan Ranindra menautkan alis sabitnya dengan bingung.
"Nyimas baru saja bilang hal semengerikan itu dan sekarang bertanya apakah ada yang salah?" Kedasih menatap jungjungan nya dengan tajam.
Karena percakapan itu, mereka sampai tidak sadar sudah sampai di depan Danau.
Nayan Ranindra tersenyum tipis, turun dari kudanya kemudian menggandeng tangan perempuan tua bernama Kedasih itu berjalan ke tepian danau. Mentari hampir tenggelam di ufuk barat. Air danau yang jernih mematulkan sinarnya dengan sempurna.
"Setiap orang yang bernyawa pasti akan mati, Kedasih. Sekuat apapun dia ... pasti tidak bisa melawan yang namanya kematian." Gadis itu kembali berbicara.
"Jangan katakan hal buruk seperti itu Nyimas, kau tahu betul aku sudah bersumpah akan setia kepadamu sampai akhir hidupmu. Dan jika engkau pergi Nyimas, maka aku akan ikut bersamamu." Nyai Kedasih terlihat amat bersungguh-sungguh ketika mengatakannya.
"Jadi kau takut harus bunuh diri jika aku mati?" Nayan Ranindra menaikan sebelah alisnya. Tersenyum skeptis.
"Bukan begitu Nyimas, saya akan dengan senang memberikan nyawa ini hanya untukmu. Tapi tidak berarti anda harus meninggal dulu." Perempuan tua itu menggeleng kuat.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔]RANJAU
Narrativa StoricaWARNING!!! 18+ Rakilla Huan Mei, seorang mahasiswi tingkat akhir Fakultas Hukum terpaksa harus bentrok dengan kekasihnya sendiri yang seorang anggota brimob saat terlibat unjuk rasa besar-besaran di depan gedung DPR. Keadaan yang semula berlangsung...