CHAPTER 29 (Serangan Fajar)

1.3K 227 16
                                    

"Sebelum semuanya dimulai ... kita harus mengakhiri itu lebih dulu."

***

(Mulai dari chapter ini, kalian semua akan dituntut untuk berpikir lebih keras, semua puzzle ... semua clue, detil terkecil ... menuju 10 Bagian terakhir Ranjau)

Sebuah takdir selalu terhubung satu dengan lainnya, seperti segenggam tangkai mawar, butuh seutas tali untuk mengikat dan menyimpulnya menjadi satu.

Benang merah ....

'Hanya menyerah pada takdir yang sudah digariskan? Bukankah itu seperti ... bentuk dari sebuah kelemahan?'

"Bukankah memang harusnya seperti itu? Kau ... aku ... kita semua, terhubung pada takdir yang sama. Untuk mencapai sebuah tujuan yang juga sama."

'Jika setiap manusia di dunia berpikir sama dengan dirimu, sepertinya tidak akan pernah ada 2050.'

"Seperti manekin bukan? Bedanya ... aku dikendalikan oleh tali, dibelenggu oleh bayangan semu, diseret pada berbagai persoalan hidup yang tidak masuk akal."

'Hidup memang rangkaian ketidakmasukakalan.'

"Dan karena sebuah ketidakmasukakalan itulah ... muncul ketiadaan."

'Segala sesuatu berawal dari ketiadaan.'

"Dan aku adalah ketiadaan itu."

"Kau mengatakan sesuatu?"

Rakilla mengerjap, guci dari tanah liat berisi abu kremasi itu masih didekapnya dengan erat. Kabut-kabut tipis terlihat menggantung di selah pepohonan. Kicau burung bersahutan dari segala arah, pagi masih amat pagi di lembah nan indah ini.

"Aku sudah mendayung selama 15 menit Nyimas, kau kapan mau menaburkan abu-abu itu?"

Ling Shi kembali bertanya. Mendongakan kepala pada gadis cantik yang berdiri di ujung sampan. Masih dengan pakaian serba putihnya itu.

Di tengah danau Ranukumbolo yang bening lagi dingin seperti ini ... dia seperti peri mimpi yang tersasar ke dunia manusia.

"Sabar sedikit, kita hampir sampai." Gadis itu menolehkan kepala sebentar kemudian seperti sebelumnya, kembali mematung dalam kebisuan.

Ling Shi  menghela napas, seperti yang sudah-sudah, pada akhirnya dia hanya bisa mengikuti setiap alur cerita yang dibawa oleh gadis itu bagai pion dalam bidak permainan catur.

"Boleh kutanya sesuatu?"

Sekali lagi, pria itu mengeluarkan suara, memecah hening yang sejak semula tidak terlalu dia sukai. Sayang ... karena saat ini Ranindra sedang berduka, dia tidak ada pilihan lain selain membiarkannya.

"Tanyakan saja, sejak kapan butuh izin?" Rakilla menoleh lagi. Tersenyum kecil.

"Sebagai Manusia Kiriman Langit ... kau datang ke dunia ini dengan sebuah tugas, iyakan?"

Rakilla terdiam, mengangguk.

"Kalau misalkan ... tugas itu selesai, apakah kau akan kembali ke duniamu?"

Dia kembali hanya bisa diam. Berpikir, kemana arahnya pembicaraan ini sebenarnya? Apa maksud Ling Shi menanyakan itu semua? Apakah dia ....

"Kalau kau bisa kembali ke duniamu ... apakah, apakah pemilik sejati dari tubuhmu akan kembali?"

Sebuah pertanyaan telak, menikam dengan kuat.

Entah, Rakilla sendiri tidak tahu kenapa rasa-rasanya pertanyaan itu begitu menikam. Mendadak, dia merasa tidak diinginkan.

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang