CHAPTER 9 (Bukan Pembodohan)

3.1K 547 42
                                    

"Bukan salah takdir, kau saja yang lupa berusaha."

***

Warna-warni kain satin, sutera, brokat, serta linen berjejer dengan rapi di dalam lemari kayu. Rakilla memilah-milahnya dengan santai seraya bersenandung lirih, Kedasih dengan sabar menantinya di sebelah lemari.

"Kenapa kau menatapku seperti itu Kedasih?" Rakilla melirik abdi setianya itu sekilas. Meraih sebuah Hanfu berwarna putih dengan jubah biru bersulam benang yang senada putihnya.

"Tidak nyimas, aku hanya  merasa heran saja ... sebetulnya kau ini berasal dari mana? Kenapa begitu berbeda?" Kedasih mengikuti langkah junjungannya ke depan meja rias. Membantu gadis berusia 20 tahun itu mengganti pakaian kemudian mulai menata rambut panjangnya.

"Kalau kubilang dari alam akhirat apa kau akan percaya?" Rakilla melempar senyum kecil. Mulai menaburkan bedak dari sari bengkuang ke wajah mulusnya.

Di awal-awal hidup sebagai Nayan Ranindra, dia tidak tahu benda-benda apa saja yang ada di meja riasnya itu. Di dunia sebelumnya dia hanya tahu produk kosmetik asal Perancis dan produk lokal yang ada label halalnya saja. Hasil alam langsung seperti bubuk mutiara, sari bengkuang, lilin madu, sari bunga sepatu, kayu manis ... semuanya begitu asing sekalipun fungsinya sama saja.

"Dengar ... bahkan jawaban saja sudah nyeleneh seperti itu." Kedasih memajukan bibir, tangannya yang mulai keriput telaten menyisir rambut Rakilla. Menyematkan beberapa hiasan kepala berupa buyao, dan chai dari susunan batu safir dan emas.

Rakilla tertawa renyah mendengar ucapan abdinya itu. Bahkan jika di atas langit sana ada burung yang tengah terbang rendah, mendengar suara tawanya yang merdu itu saja ia akan mendadak hinggap di atas genteng.

"Kau tahu nyimas? Dengan kecantikan yang seperti ini, harusnya dirimu bukan hanya menjadi Ratu di Hanwujin saja, tapi di istana Majapahit sebagai permaisuri raja." Kedasih memasangkan kalung mutiara ke leher gadis itu. Sekali lagi mematutnya di depan cermin.

"Kau ini terlalu melebih-lebihkan Kedasih, antara aku dan raja Hayam Wuruk sama sekali tidak ada kecocokan." Gadis itu menggeleng.

"Kenapa? Kalian sama-sama cerdas dan rupawan. Usiamu ini sudah amat matang untuk menikah Nyimas." Kedasih menatap Rakilla dengan raut bingung.

"Aku terlahir di dunia yang amat berbeda dengan Hanwujin maupun Majapahit, Kedasih. Di sana ilmu pengetahuan dan teknologi sudah amat sangat berkembang, para gadis tidak lagi menjadikan pernikahan sebagai suatu keharusan. Kami bebas menentukan jalan hidup sendiri." Rakilla beranjak dari meja rias ke arah jendela, rembulan malam sebunyi-sembunyi mengintip di balik awan gelap.

'Lagipula, petaka buruk sudah menanti kisah cinta dari raja Majapahit itu, aku hanya tinggal menunggu saja.' Gumamnya.

Para penjaga istana terlihat hilir mudik, beberapa emban dan kusir kuda serta para pemberi makan ternak berseliweran mengerjakan tugas, percakapan acak dari mulut-mulut mereka beriringan dengan riuh rendah suara anak-anak menghafal kitab Weda.

"Apa benar duniamu yang sebelumnya seindah itu Nyimas?" Kedasih ikut berdiri, menikmati semilir angin malam yang berhembus menerpa wajah.

"Sebetulnya tidak lebih indah dari Hanwujin, Kedasih. Di duniaku ilmu pengetahuan dan teknologi memang berkembang dengan amat pesat, tapi tidak dengan kondisi alam serta budaya." Rakilla mengeleng sedih.

Dia teringat bagaimana hari terakhir hidupnya sebelum terlempar ke masa lalu. Jalanan rusak oleh masa yang melakukan aksi unjuk rasa, fasilitas publik rusak, aksi penembakan, bentrok masa ....

[✔]RANJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang