🌸 11

440 32 18
                                    

Ifa membuka matanya dan menyipitkan matanya untuk menyesuaikan cahaya yang menusuk matanya. Setelah merasa normal, ia membuka matanya sempurna. Ia langsung disuguhkan dengan aroma minyak angin. Ifa meringis saat merasakan denyutan dikepalanya.

"Alhamdulillah, kamu udah sadar. Nih diminum dulu" Ifa melihat kearah Ustadzah Yisha yang tengah menyodorinya segelas air putih. Ifa pun tersenyum dan mengambil gelas tersebut lalu segera meminum nya.

"Gimana keadaan kamu? Ada yang sakit?" tanya Ustadzah Yisha.

"Cuma sedikit pusing Ustadzah, tapi gak papa" Yisha pun mengangguk mengerti.

"Udah berapa lama Fa pingsan Ustadzah?" tanya Ifa. Soalnya ia tidak lagi mendengar suara rintik hujan diluar tenda, itu artinya hujan sudah berhenti.

"1 jam Fa" jawab Yisha yang berhasil membuat Ifa kaget.

"1 jam Ustadzah?!" Yisha mengangguk sebagai jawaban. Perhatian Yisha dan Ifa teralihkan saat melihat seorang laki laki dengan baju yang sedikit berantakan masuk kedalam tenda Ifa.

"BANG GIL?!" kaget Ifa melihat pria tersebut.

"Maaf, kamu siapanya Ifa?" tanya Yisha.

"Saya Abang nya Ifa buk. Maaf lancang masuk" jawab Gilbran sopan.

"Oh gak papa. Kalau begitu saya permisi keluar dulu, mau ngurus yang lain. Permisi. Assalamualaikum" setelah mendengar jawaban dari Gilbran dan Ifa, Yisha berlalu keluar tenda.

"Kenapa gak ngabarin gue kalau gak jadi mendaki?" tanya Gilbran dingin sambil kenatap Ifa datar. Ifa menggigit bibir dalam nya saat melihat tatapan dingin Gilbran.

"Jawab!" tegas Gilbran lagi.

"Fa gak megang ponsel dari kemaren Bang" jelas Ifa lirih.

"Kan malam lo bisa hubungi gue. Lo tau gak sih, gue tuh khawatir ama lo. Kalau aja umi tau lo kayak gini, lo gak ada ngabarin gue, yang ada lo gak akan diizinin kemana pun Fa. Capek capek gue bantu lo kemaren biar lo bisa mengenal alam kayak gini, malah lo kecewain gue dengan cara gak ngasih kabar gue. Lo gak ngehargain perjuangan gue Fa. Lo anggap gue abang apa gak sih?!" Ifa berusaha menahan air matanya saat mendengar kekesalan Gilbran. Ia tau ia salah, tapi memang benar, dari kemaren malam dia tidak memegang ponselnya. Bahkan ia tidak tau apakah ponselnya itu masih hidup atau udah habis daya.

"Maaf" hanya itu yang bisa dikeluarkan oleh Ifa saat ini. Gilbran menghela napas panjang dan menghembuskannya kasar. Setelah itu ia langsung memeluk Ifa erat.

"Maafin Fa Bang" ujar Ifa serak.

"Ssstttt. Udah, Abang maafin. Maafin abang juga karna udah marah marah" Gilbran mengelus lembut kepala Ifa.

"Abang kok bisa sampai sini?" tanya Ifa masih dalam pelukan Gilbran.

"Dikabari ama pembina lo, Pak Khaidir" jawab Gilbran.

"Bang...." panggil Ifa sambil menatap Gilbran.

"Hmm" sahut Gilbran masih setia memeluk Ifa. Baginya, Ifa adalah separuh nyawanya, perinya.

"Jangan kasih tau Umi masalah ini yaa" ujar Ifa.

"Iya iya, gue tau lo takut kalau Umi tau masalah ini, lo gak akan di beri izin lagi" Ifa pun tersenyum dan kembali mengeratkan pelukannya kepada Gilbran. Dari kecil, Gilbran yang paling dekat dengannya. Perhatian mereka teralihkan karna mendengar perdebatan diluar tenda Ifa.

"Lo kalau mau lihat Dedek Ifa, ngajak ngajak kek. Ini enggak, main pergi pergi aja sendiri. Kan gue juga mau lihat keadaan Dedek Ifa" Ifa sudah tau pasti ini Aslan.

Ketua Rohis, Ana Uhibbuka Fillah ~END~Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang