PART 3

1.3K 140 152
                                    

Sudah hampir dua minggu sejak kejadian kemarin, Shani benar-benar menghindar dari Vino. Ia merasa kejadian kemarin masih belum bisa ia terima, meskipun Vino berkali-kali datang ke rumahnya Shani lebih memilih diam atau bahkan tidak menemui Vino. Tapi satu hal yang tidak bisa ia lakukan adalah memutuskan hubungan mereka, sulit rasanya mengatakan kalimat pemutus hubungan meskipun ia tau jika hubungan mereka sudah masuk ke dalam toxic relationship. Sepintar apapun Shani, sisi perempuannya masih sangat kuat. Dimana ia lebih banyak melibatkan perasaan dibandingkan dengan logikanya. Perasaan pada kekasihnya lebih berat dibandingkan segala pikiran rasional Shani tentang segala peyakit dalam hubungan mereka.

"Shan"

"Ya Bun?"

"Ini barang kamu udah masuk semua ke koper?"

"Iya udah ko Bunda, tinggal laptop aja nanti aku masukin ransel"

"Yaudah kalo gitu, Shan Bunda mau ngomong sama kamu sebentar sini nak"

"Iya kenapa Bunda?" Shani akhirnya duduk di samping Bundanya yang sudah duduk di atas tempat tidur milik Shani.

"Kamu besok berangkat, tapi Bunda liat kamu sama Vino ini masih aja bertengkar gitu"

"Aku ga bertengkar ko Bun"

"Adek, jangan bohong sayang. Kamu ga pinter bohong, Bunda tau itu" Shani terdiam, memang sia-sia jika berbohong pada Bundanya, sudah pasti akan ketahuan.

"Iya maaf Bunda, aku cuma ga mau bikin Bunda pusing aja liat aku sama Vino berantem terus"

"Dek, bertengkar itu wajar jangankan kalian yang masih pacaran. Sudah nikah aja masih ada pasti selisih paham Dek"

"Aku cape Bun" air mata Shani yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah ketika tangan Bunda dengan lembut mengelus punggung Shani.

"Sini sayang, silakan nangis kalo itu bisa buat Adek lebih tenang"

"Maafin Adek ya Bunda, udah gede masih sering bikin Bunda pusing"

"Udah gapapa, kamu sama Mas kamu itu sampai kapanpun juga masih tetep jadi sosok anak buat Bunda sama Ayah"

"Iya, makasih ya Bunda"

"Iya sayang, sebelum berangkat kalian ngobrol dulu ya. Vino nanya besok kamu berangkat jam berapa, boleh dia ikut anter kamu?"

"Iya boleh ko Bun, nanti aku telpon Vino juga"

"Yaudah kamu periksa lagi barang-barangnya jangan sampai ada yang ketinggalan. Habis itu istirahat ya kamu kan besok berangkat"

"Iya Bunda, makasih ya Bun"

Shani memeluk Bundanya dan ia mendapatkan satu ciuman hangat di keningnya. Memang pelukan Ibu selalu menjadi hal paling menenangkan saat kita benar-benar merasa lelah dengan segala kebrengsekan dunia.

Hujan kembali turun membasahi Jakarta sore ini, Shani memilih merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur seraya menyalakan lagu melalui speakernya, ditambah wangi essential oil yang ia tuangkan ke dalam diffuser kini sudah memenuhi ruangan. Aroma-aroma seperti ini memang selalu terasa menenangkan, membuat syaraf-syaraf diotak setidaknya lebih bisa relax setelah sekian lama menegang karena pertengkaran yang tak kunjung usai.

Shani memejamkan matanya, bahkan suasana semenenangkan ini saja masih membuatnya terbayang akan pertengkarannya bersama Vino. Suara mereka yang sama-sama tinggi masih terdengar jelas di telinga Shani, bagaimana gertakan gigi Shani, bagaimana urat-urat berwarna hijau menegang di dekat pelipis mata lelaki itu. Benar-benar situasi yang Shani benci, ia tau jika situasi seperti itu adalah saat-saat paling menyakitkan baik bagi Shani maupun Vino. Baik Vino dan Shani memang tidak pernah melakukan kekerasan secara fisik, tapi tanpa mereka sadari mereka sudah menyakiti masing-masing secara mental. Bukankah menyakiti secara verbal lebih bisa merusak mental dibandingkan pukulan pada tubuh yang akan sembuh dengan cepat.

Adu RayuWhere stories live. Discover now