7. POTONGAN PUZZLE

3.2K 382 6
                                    

7. POTONGAN PUZZLE

Seorang wanita paruh baya tengah memasukkan barang-barangnya kedalam tas. Dengan gerakan gontai ia melipat baju-bajunya. Wajahnya masih tampak pucat, sama seperti beberapa hari yang lalu. Tapi hari ini, Dokter sudah memberinya izin untuk pulang. Aktivitasnya terhenti bersamaan dengan pintu ruangan yang terbuka.

Dia nenarik bibirnya, begitu tahu siapa yang datang.

"Zelin," panggilnya lirih.

Cewek itu langsung berlari kearah Resti, menghamburkan pelukan lalu memeriksa kondisi mamanya seperti biasa.

"Mama beneran udah baikan? Nggak ada yang sakit lagi?" tanyanya memastikan. Resti mengangguk lemah.

"Yaampun, harusnya mama biarin aja. Zelin nanti yang bakal beresin." ucapnya begitu melihat pakaian-pakaian milik mamanya sudah terlipat rapi.

Resti tersenyum lalu meraih tangan putrinya, "Masa iya kamu yang beresin, udah capek di sekolah sekarang disini."

Zelin menghela nafas kemudian membalas senyuman mamanya. Resti memang seperti itu, dia tidak ingin merepotkan orang lain. Terkadang saat wanita itu merasa kesakitan dia juga memilih diam, dan memendam rasa sakitnya sendiri. Resti hanya tidak mau membuat putrinya khawatir.

"Hallo tante!"

Resti langsung menoleh begitu mendengar suara melengking dari ambang pintu. Netranya menangkap seorang cewek yang seumuran dengan putrinya.

"Alikka?" ujar Resti dengan raut wajah senang, "apa kabar kamu nak?"

"Baik tan, tante sendiri gimana? Udah baikan?" balas Alikka seraya meletakan paper bag yang ia bawa di nakas. Cewek itu sempat membeli brownies sebelum kemari.

Resti mengangguk.

"Maaf ya tan, Alikka baru sempet jengukin sekarang."

"Nggak papa kok, tante malah makasih banget karna kamu udah sempetin buat datang kesini." tutur Resti. Baginya, Alikka bukan hanya sekedar teman Zelin, tapi sudah ia anggap seperti putrinya.

"Tapi kenapa kalian tidak barengan?"

"Tuh anak tante main ninggalin Alikka, langsung lari-lari dia di koridor." adu Alikka sambil melirik Zelin.

Zelin yang kini menjadi pusat perhatian keduanya, hanya menyengir tak berdosa.

"Tante pulang sama Alikka ya, kebetulan Al bawa mobil kesini." Hari ini Alikka sengaja membawa mobil ke sekolah, supaya bisa sekalian pergi ke RS. Karna Zelin sempat memberi tahunya, bahwa Resti sudah diperbolehkan pulang sore ini.

"Ayo Ma," ajak Zelin begitu selesai memasukkan semua pakaian Resti, "Mama bisa jalan nggak? Atau mau pake kursi roda?"

Resti menggeleng pelan, "Mama bisa jalan kok,"

"Pelan-pelan tan," titah Alikka sambil membantu Resti turun dari bangsal.

Resti menghentikan langkahnya saat berada diambang pintu, hal ini membuat kedua cewek itu otomatis ikut berhenti.

"Mama lupa, tunggu sebentar." Wanita itu kemudian berbalik dan membuka laci nakas. Saat itu juga Zelin dan Alikka saling bertatapan.

Resti menyodorkan amplop putih kepada putrinya, Zelin yang menerima itu menyerngitkan kening. Amlop itu terlihat familiar.

"Sekretaris papa kamu tadi kesini, dia kasih itu sama mama." ujar Resti menjelaskan. Zelin ingat sekarang, amplop ini sama seperti yang Clarin berikan padanya tadi siang.

"Tapi kenapa buat Zelin? Mama lebih butuhin uang ini buat berobat."

Resti tersenyum sembari mengelus rambut putrinya, "Karna itu hak kamu sebagai seorang anak, sudah kewajiban papa kamu buat menafkahi kamu sayang. Karna bagaimana pun kamu tetap anaknya. Sedangkan mama sudah kehilangan hak sebagai seorang istri dari satu tahun yang lalu. Makanya mama tidak bisa menerima itu."

FIGURAN [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang