"Apakah siswa-siswa badung itu mengganggumu, Plan?" New duduk di depan Plan sambil mengembangkan sebuah senyuman.
Wakil kepala sekolah SMA elit yang bernama Wabisabi itu mendatangi klinik sekolah, tempat Plan Rathavit berkerja pada suatu sore. Ia mendapat laporan dari beberapa guru bahwa beberapa siswanya sering datang ke klinik untuk menggoda dirinya atau mengganggunya.
"Tidak, Phi. Aku tak apa-apa. Jangan khawatir," sahut Plan cukup mantap menjawab sebab ia paham benar dengan para siswa yang sering bolak-balik ke klinik beralasan sakit itu memang tak selalu sakit secara harfiah. Mereka hanya malas untuk mengikuti kelas atau mengantuk atau jika pasangan, biasanya mereka akan menggunakan salah satu ranjang untuk bercumbu atau bercinta. Plan sering membiarkannya sebab ia juga pernah muda.
Intinya, selama alasan-alasannya di atas saja, Plan tak masalah. Tidak apa-apa. Mereka siswa SMA, penuh dengan gelora dan semangat dan nakal, tetapi sangat imut.
"Kau betah bekerja di sini? Tidak ada masalah, bukan?" New sekali lagi memastikan.
"Tentu saja. Tidak ada masalah. Terima kasih banyak karena sangat peduli padaku, Phi," sahut Plan lagi dengan ramah.
"Itu sudah tugasku. Baiklah, kalau begitu, aku pergi," sahut New dan Plan menganggukkan kepalanya seraya mengantarnya sampai ke pintu.
Plan kembali pada pekerjaannya. Saat New datang ke klinik, ia tengah memeriksa persediaan obat. Tak lama berselang, tiga siswa masuk ke dalam klinik. Satu orang lelaki dibopong oleh kedua lainnya.
"Ada apa?" Plan kaget.
Sang siswa terluka hampir si semua bagian wajahnya dan jelas bagian perutnya berdarah.
"Tolong selamatkan bos kami," ujar salah seorang siswa yang membopongnya.
"Bos?" Plan kaget. Namun, ia menarik tirai yang menghalangi ranjang.
"Baringkan dia di sana," sahut Plan lagi. Cukup aneh memang sebab sudah sore dan biasanya siswa tak berada di sekitar sekolah lagi.
"Kalian minggir. Biar aku periksa," sahut Plan lagi.
Kedua siswa yang membopongnya tadi langsung menganggukkan kepalanya.
Plan memeriksa sang pasien yang meringis. Ia menanggalkan seragam sang siswa dengan hati-hati dan membelalakkan matanya sebab seluruh tubuhnya dipenuhi dengan tato yang jelas hanya dipunyai keluarga mafia. Setidaknya itu yang Plan tahu dari acara-acara TV yang menunjukkan sisi gelap Thailand atau dari film-film aksi Hongkong.
Ia meneguk ludah dan menahan wajah kagetnya itu. Sekejap ia melirik ke arah seragam yang dipakai sang siswa. Benar! Itu seragam sekolah yang sama tempat ia bekerja. Aduh! Sudahlah! Pikirannya tak boleh meracau seperti ini! Ada pasien yang harus segera ia tolong.
"Kau! Siapa namamu?" tanya Plan kepada seorang lelaki yang pendek tapi tampan.
"Perth. Perth Tanappon," sahutnya.
"Bisakah kau bawa air hangat ke dalam baskom?" perintah Plan. Perth menganggukkan kepalanya dan kemudian melakukan perintahnya.
"Dan kau? Siapa namamu?" tanya Plan kepada siswa yang satu lagi.
"Yacht," sahutnya.
"Ada daftar buku pasien di atas meja. Bisakah kau isi datanya sekarang?" Plan menatapnya.
Yacht mengiyakan dan kemudian dengan cepat bergegas menuju meja dan menulis di sebuah buku.
Plan memeriksa pasien yang pingsan. Ia ditusuk dengan pisau beracun. Wajar kalau bibirnya pucat dan wajahnya seperti zombie. Satu jam Plan memeriksa dan merawatnya. Ia menjahit luka tusuknya seadanya. Seharusnya siswa ini dibawa ke rumah sakit. Entah apa yang terjadi kepadanya. Mungkin saat ia bangun, Plan harus bertanya kepadanya.