"Khun Mean, kita mau pergi ke mana?" tanya Plan sambil menuruni mobil dan kemudian berjalan mendekati Mean.
"Ke suatu tempat. Nanti kau akan tahu," sahut Mean. Ia mengambil tangan Plan dan memegangnya erat. Mereka berjalan bergandengan tangan. Plan menatap sejenak genggaman tangan itu dan ia merasakan kehangatan sehingga ia tak melepaskannya.
Mereka memasuki sebuah toko cincin dan Mean bertemu dengan salah seorang staf dan berbicara dengannya untuk memesan cincin pernikahan. Plan kaget. Mean menatap Plan sambil tersenyum.
"Kita menikah melalui Tonnaam. Kupikir kita harus membeli cincin pernikahan, bukan?" Mean tersenyum kepada Plan. Plan menundukkan kepalanya malu. Ia lalu menganggukkan kepalanya.
"Pilihlah!" sahut Mean sambil menyodorkan buku model.
"Bagaimana kalau membeli yang sudah jadi saja? Kita bisa melihat-lihat dulu," sahut Plan. Giliran Mean yang menganggukkan kepalanya. Mereka kemudian melihat-lihat dan setelah beberapa waktu, mereka akhirnya menemukan model yang cocok dengan ukuran yang sesuai.
Mereka pun membelinya dan memakainya. Mereka melanjutkan acara hari itu dengan menonton di sebuah bioskop. Namun, sebenarnya mereka tak benar-benar menonton. Di tengah tayangan, Mean mencium Plan dan Plan melayaninya dan mereka akhirnya bercumbu lama.
"Kita sewa hotel, na!" bisik Mean.
"Filmnya belum selesai," ujar Plan.
"Tidak apa-apa. Tidak penting," sahut Mean. Plan menganggukkan kepalanya. Mereka keluar dari bioskop sebelum film selesai dan menyewa hotel di dalam mal, menghabiskan waktu sekitar empat jam di sana dan kemudian berbelanja. Setelah itu mereka pulang dan kemudian makan malam. Seusai makan malam, mereka melakukannya lagi.
Mean sangat rajin menengok si kecil. Hmmmm!
***
"Istrimu sedang hamil lagi?" Tonnaam menatap perut Plan yang agak gemuk.
"Uhm. Hampir lima bulan," sahut Mean lagi sambil melihat kepada Plan yang tengah bermain dengan anak perempuan kembarnya, Kot dan Krisan. Mereka anak ketiga dan keempat.
Sementara itu, anak pertama dan keduanya, Dee dan Tee, tengah asyik bermain dengan anjing mereka, Gucci. Dee dan Tee berusia enam tahun sekarang. Kot dan Krisan berusia tiga tahun.
Mereka tengah berada di halaman belakang rumah Mean. Sejak kehadiran Kot dan Krisan, Mean membeli rumah yang cukup besar dan mempekerjakan dua pelayan dan dua pengasuh. Plan juga sudah mulai aktif kembali sebagai blogger memasak dan konsultan kuliner untuk beberapa restoran.
"Rajin amat produksi anak, Mean! Mentang-mentang kau kaya!" sindir Tonnaam sambil tersenyum.
"Aku tak janji, ... tapi akan kuusahakan ini anak terakhir kami," ujar Mean lagi sambil mesem-mesem.
"Astagaa!" Tonnaam merebah sambil menggelengkan kepalanya.
"Kau bahagia?" tanya Tonnaam lagi, melirik ke arah Mean.
"Uhm," gumam Mean yang tengah menatap Plan.
"Istriku cantik sekali, ya, Nam!" sahut Mean sambil menatap Plan yang masih anteng dengan kedua anak perempuannya.
"Sialan! Jangan bilang kamu sange, Mean! Masih siang ini!" komentar Tonnaam sambil mengerling. Mean tergelak.
"Tapi dia memang cantik. Jelas terlihat dia keturunan bangsawan. Sikapnya, cara bertuturnya. Kau beruntunh, Meung! Dia benar-benar tak berharap lagi dengan keluarganya?" Tonnaam bertanya.
"Dia malah ingin ibu Jida tinggal dengan kami," sahut Mean sambil menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Tonnaam sebelumnya.
"O, hatinya baik sekali!" sahut Tonnaam.
"Tapi, ibu Jida tak mau. Ia sekarang punya kesibukan baru. Mengurus anak panti asuhan. Plan membantunya kadang-kadang. Sore ini, kami berencana ke sana," ujar Mean.
"Kau beruntung, Meung. Bayangkan kalau kau menikahi Dream. Kurasa kau akan dibuat sapi perah, hahahaha!" Tonnaam berkata lagi.
"Woi, lupakan dia!" sahut Mean lagi. Dengan cepat ia menggelengkan kepalanya dan bergidik seolah takut.
Keduanya tergelak lagi.
"Syukurlah kalau semuanya lancar. Kau harus bersyukur! Kau mendapatkan banyak keberuntungan dalam hidupmu," ujar Tonnaam.
"Uhm, kau benar." Mean menganggukkan kepalanya.
***
"Anak-anak sudah tidur?" tanya Mean sambil menghampiri Plan dan memeluk dari belakangnya. Plan menoleh dan menganggukkan kepalanya seraya tersenyum. Ia baru saja menyimpan kopi di atas meja Mean.
"Rak na!" bisik Mean.
"Rak na!" jawab Plan.
Mean membalikkan tubuh Plan dan menaikkannya ke meja kerja Mean. Plan duduk di atas meja, mengalungkan kedua tangannya pada leher Mean. Mereka bertatapan dan tersenyum.
"Kau bahagia?" tanya Mean. Plan menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih," sahut Plan sambil tersenyum dan dengan mata yang berbinar.
"Aku yang berterima kasih," sahut Mean. Dia mengecup bibir Plan pelan.
"Kau mau menjenguk si kecil?" tanya Plan sambil tersenyum. Mean menganga.
"Aku terlalu sering menjenguknya," sahut Mean.
"Tidak apa-apa. Dia bahagia. Ibunya juga bahagia," ujar Plan lagi. Ia mendekatkat wajahnya dan mencium bibir Mean dan mereka berciuman.
"Astagaaa! Nnnnngh, enaaak sekaliii," desah Mean sambil menggenjot Plan di atas meja. Plan duduk mengangkang dan membiarkan Mean menikmati dirinya.
"Aaah, Meaaan, nnnngh, aaah," rintih Plan sambil mengatur desah napasnya.
Tak lama kemudian, mereka sama-sama mencapai puncak pelepasan. Mereka kemudian beralih ke kamar dan tidur.
Mean memiliki lima anak. Dua anak lelaki kembar, Dee dan Tee, dan dua anak perempuan kembar, Kot dan Krisan. Yang bungsu lelaki dinamai Gee. Begitulah. Mereka menciptakan kebahagiaan mereka sendiri.
Tamat