"Jangan pulang," lirih Mean. Mereka baru menyelesaikan kegiatan kenikmatan mereka malam sebelum ayah Plan dan bibi Mean menikah. Inu artinya, malam itu adalah malam terakhir Plan ada di kampung halamannya.
Plan tidur beralaskan lengan Mean yang kekar. Ia menghadap Mean. Tangannya beristirahat di dada Mean sambil sesekali jarinya iseng mengelus dada bidangnya itu. Sementara kakinya memeluk tubuh bawah Mean. Selimut menutupi bagian paha atas sampai pada dada atas Plan.
"Maafkan aku! Aku tak bisa. Aku punya banyak hal yang harus kukerjakan, Mean," sahut Plan lagi. Ia mengangkat kepalanya dan mencium pipi Mean lembut dan kemudian kembali pada posisinya.
"Jangan menambah masalah. Kita tahu yang kita lakukan salah. Aku memang belum bisa melupakanmu, tapi, aku juga tak akan mengambilmu dari yang lain. Ini cukup," sahut Plan dengan nada yang sangat sedih.
"O, Baby. Aku bahagia mendengar bahwa kau masih mencintai aku. Sejujurnya aku pun memiliki perasaan yang sama. Neena dan aku bertunangan karena perkebunan ayah ada masalah dan keluarga Neena membantu keluargaku dan sebagai gantinya, ia ingin aku menikahi Neena. Aku bahkan tak tahu bahwa Neena mencintaiku sejak di SMA," sahut Mean.
"Masa kau tak sadar, Mean! Aku saja tahu!" sahut Plan.
"Aku hanya mencintaimu, tak pernah memikirkan yang lain," ujar Mean. Ia memeluk erat Plan dan mencium keningnya. Malam itu mereka bercinta lagi.
Pernikahan pun berlangsung keesokan harinya. Semuanya berjalan lancar dan semuanya bahagia, kecuali Mean dan Plan. Meskipun demikian, tak ada yang bisa dilakukan. Mean dan Plan harus kembali pada kehidupan mereka masing-masing.
"Pho, Mae, semoga kalian bahagia," sahut Plan. Mereka berdiri di stasiun sebelum Plan menaiki kereta.
"Terima kasih. Semoga kau juga," ujar Nun. Mereka berpelukan. Plan mengucapkan selamat tinggal. Ia kemudian memasuki stasiun dan menaiki kereta. Kereta hampir berangkat. Seorang lelaki gagah berlari di sebuah peron dan menatap pada setiap lorong kereta berharap ia bis menemukam seseorang yang ia cari. Ia memasuki kereta dan berjalan di lorongnya yang panjang sampai akhirnya ia menemukan yang ia cari.
"Plaaan!" sahut Mean. Plan kaget. Ia mengangkat kepalanya dan menganga. Mean menarik Plan keluar dari keret dan mengeret kopernya.
"Mean, apa yang kau lakukan?" Plan terkejut.
"Tolong sehari ini saja. Luangkan waktumu bersamaku, na!" nada Mean memohon. Plan menatapnya sedih.
"O, Meaaan!" Tangan Plan menjulur ke wajah Mean. Ia mengelus wajah Mean lembut.
"Oke," sahut Plan sambil tersenyum. Mereka saling menyunggingkan senyuman. Mereka berjalan bergandengan menuju peron yang lain dam menaiki kereta yang lain menuju kota lain. Mereka turun di sebuah stasiun dan kemudian menaiki taksi menuju sebuah rumah di dekat danau.
"Kita di mana, Mean?" tanya Plan.
"Rumah kita. Aku membangun ini dengan kerja kerasku. Dan aku berharap kita ada di rumah ini dengan anak-anak kita," sahut Mean dengan nada yang sedih.
"O, Mean. Kau romantis sekali!" lirih Plan. Matanya berkaca-kaca.
"Rak Plan. Rak cing cing, rak mak mak," bisik Mean dengan mata yang berkaca-kaca juga.
Plan memeluk Mean dan menangis keras. Mereka berciuman lama dan memasuki rumah sambil menanggalkan pakaian satu demi satu dan masih berciuman juga.
"Oooo, Meaaaan, nnnnngh, aaaah," desah Plan leluasa sebab hanya ada mereka berdua.
"Rak Meaaaan, rak mak mak," rintih Plan lagi.
"Baby, nnnngh, hmmmm," rintih Mean dan mereka berciuman sambil masih menikmati kehangatan dan kenikmatan paduan di bagian bawah mereka.
Malam itu mereka benar-benar meluapkan semuanya dan keesokan paginya, Mean mengantarkan Plan kembali ke stasiun dan mereka beriuman sangat lama di depan peron.
"Selamat tinggal," bisik Plan sambil menangis.
"Bye," lirih Mean sambil menahan tangis juga.
Kereta berlalu semakin jauh dan Mean menangis sendirian dengan membekap mulutnya di dalam mobilnya yang terparkir sejak kemarin.
***
Sembilan bulan sudah berlalu dan Mean serta Neena seharusnya tengah sibuk menyiapkan pernikahan. Beberapa bulan lagi dan mereka akan resmi menjadi pasangan suami istri Namun, yang terjadi tidaklah sama seperti dalam pikiran.Mean menjual semua aset yang ia punya dan kemudian membayar utang kepada ayah Neena. Setelah itu, ia memutuskan pertunangan dengan Neena.
Ia pergi ke Bangkok mencari Plan. Setelah pertemuannya kembali pada acara pernikahan ayah dan bibinya, ia tak bisa melupakan Plan dan tak mau melakukan kesalahan yang sama dengan melepaskannya. Jadi, ia bertanya kepada ayah Plan dan kemudian pergi ke Bangkok mencari Plan.
Meam berdiri di depan sebuah rumah yang terlihat begitu megah. Ia mengembuskan napas dan kemudian menekan bel pada ujung pintu gerbang. Seorang satpam membuka pintu dam bertanya tentang keperluan Mean. Satpam itu langsung membukakan Mean pintu dan mempersilakan dirinya masuk. Ia lalu mengantar Mean ke rumah utama.
Di sana Mean disambut oleh nenek Plan dan ia kemudian menjelaskan bahwa Plan ads di rumah sakit. Ia baru melahirkan sehari sebelumnya. Mean tentu saja kaget. Bagaimana bisa Plan melahirkan? Bukankah dia bilang dia tak punya kekasih? Dan ia melotot saat memikirkan lagi dengan jelas sebab pasti anak itu anaknya juga. Mereka selalu melakukannya tanpa pengaman dan jika hitungannya benar, maka anak yang dikandung Plan adalah pasti anaknya.
Mereka kemudian menuju rumah sakit. Plan masih terbaring lemah tapi ia sudah sadar. Saat Mean datang kepadanya, Plan tengah mengusui anak lelakinya yang diberi nama Tee.
"Plaaan," lirih Mean saat ia memasuki ruangan. Plan menoleh dengan wajah terkejut.
"Meaaaan!" Plan tersenyum bahagia.
"Hai," sahut Plan.
"Baby," sahut Mean dan mereka berurai air mata sambil berpelukan.
"Anakku?" sahut Mean. Seharusnya tak usah bertanya lagi. Wajahnya saja sama.
"Uhmmm," gumam Plan sambil tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
"Anak kita," sambungnya.
"O, Baby," bisik Mean
Dan mereka berpelukan lagi.
Mean dan Plan akhirnya menikah di Bangkok secara sederhana. Mereka kemudian kembali ke kampung halamannya dan tinggal di rumah ayah Mean untuk sementara. Sampai beberapa tahun kemudian, mereka bisa membangun rumah impian mereka di dekat gudang anggur.
Mereka tinggal dengan tenang dan bahagia.
Tamat