Keduanya sudah saling kenal selama tujuh tahun dan juga sudah berteman dengan sangat baik. Hingga saat ini status pertemanan mereka belum berubah. Mereka terlalu lama terjebak dalam zona teman dan sulit untuk melarikan diri dari sana.
Mean dan Plan bertemu pertama kali di universitas karena mereka satu kelas. Keduanya datang dari dua keluarga yang berbeda. Mean anak seorang yang berada dengan masa depan yang sudah dipetakan oleh keluarganya. Plan datang dari keluarga yang sederhana. Ayahnya dan ibunya membuka usaha toko sayur-sayuran di pasar tradisional yang jaraknya lumayan dekat dari rumah mereka.
Mean dan Plan sama-sama pintar. Namun, Plan masuk ke kampus karena beasiswa prestasi, bukan karena ia punya uang. Dari mana ia akan punya uang untuk memasuki kampus Wabisabi yang sungguh elit itu.
Awal mereka bertemu biasa saja. Tak ada yang istimewa. Namun, seiring berjalannya waktu, keduanya mulai merasakan adanya ketertarikan. Mean, meskipun ia selalu punya perempuan di sampingnya, tak pernah sekalipun ia menelantarkan Plan.
Entah kenapa perasaannya begitu terikat kepada Plan? Hatinya akan dibuat tak tenang jika sehari saja ia tak melihat Plan. Jelas itu perasaan cinta. Dan Mean sendiri mengakui dalam hatinya. Namun, ia tak bisa mengakuinya. Ia takut Plan akan menolaknya. Alih-alih bersamanya, ia malah akan berpisah dan tak kenal satu sama lain lagi.
Jadinya, Mean selalu saja mengejek Plan tapi pada saat yang sama ia adalah orang yang pertama yang membantunya ketika ia memerlukannya. Seperti sekarang ini. Saat mereka sudah memasuki dunia kerja. Plan baru saja dipecat. Alasannya, atasannya hampir Memperkosa dia dan karena Plan mengancam akan melaporkannya ke polisi, atasannya mengambil tindakan dengan memecatnya demi harga dirinya.
Plan menganggur. Untuk sementara, Mean mempekerjakan dirinya menjadi asisten pribadinya dan juga penanggung jawab apartemennya. Mirip seperti pelayan sebenarnya. Plan sebenarnya kesal, tapi ia perlu pekerjaan itu. Plus, uangnya juga besar. Jadi, ia menerima pekerjaan itu.
Plan juga sama. Ia juga mencintai Mean. Namun, ia juga sadar diri. Ia pikir, jika Mean memang mencintai dirinya, ia tak akan bergonta-ganti pacar macam rumah sewa tiga sampai enam bulanan.
Selain itu, semua perempuan pilihan Mean itu seksi, sensual, kaya, pintar berdandan dan sangat manis dan manja.
Sementara dirinya?
Aduuh!
Ia bahkan tak sanggup berkaca untuk membandingkan dirinya dengan para perempuan semacam Punpun, Neena, Jida, Jani, Jane, Kewpla, dan sekarang Dream.
Sepertinya keduanya akan lama untuk bisa bersama sebab semakin ke sini, Plan semakin pintar menyembunyikan perasaannya dan condong memutuskan untuk melupakan Mean.
Lihat saja! Langkahnya cukup brutal juga! Ia mencari pekerjaan di luar negeri supaya ia tak bertemu dengan Mean lagi.
"Kapan kau akan menjadi mahkluk beradab, Phiravich????" nada Plan kesal.
Ia mengirimkan pesan lewat line dengan emoji kesal dan foto kondom bekas pakai berserakan di dekat ranjang. Tentu saja sekarang sudah rapi dan seprai ranjang yang bau tak jelas itu sudah pula diganti.
Saat Mean membaca pesan itu, ia hanya tersenyum dan tak membalas pesan itu. Ia tak pernah bermain lagi dengan siapapun. Ia hanya bermain sendiri dan membuat Plan menjadi fantasinya, tapi membuat seolah ia terlihat melakukannya dengan seseorang. Mean sengaja melakukannya. Ia hanya ingin mengejek Plan.
Suatu malam Mean pulang ke apartemennya. Ia masuk dan mendapati sebuah amplop yang sudah terbuka dan jelas itu punya Plan sebab ada nama Plan tertera di atasnya. Mean memungutnya dan matanya membelalak saat ia melihat isinya. Ia meremas amplop itu dan kemudian keluar dari apartemennya.
Selama berjalan menuju lift, hpnya tak henti-hentinya menghubungi Plan sampai akhirnya ketika ia memasuki mobil, Plan mengangkatnya.
"Kenapa lama sekali mengangkat HPnya?" tanya Mean kesal.
"Aku sedang mandi," jawab Plan dengan nada terkejut.
"Kau di rumah?" tanya Mean memastikan.
"Uhm," gumam Plan.
"Tunggu di sana. Jangan ke mana-mana. " Mean berkata lalu menutup teleponnya dan melajukan mobilnya dengan cepat menuju rumah Plan.
Setibanya di rumah Plan, ia menyalami ayah dan ibu Plan dan langsung menaiki tangga ke lantai dua menyambangi kamar Plan. Ia masuk dan mendapati Plan tengah mengeringkan rambutnya.
"Ada apa? Wajahmu serius sekali!" Plan menatapnya heran.
"Kau tidak boleh pergi. Jangan terima pekerjaan ini!" Mean menunjukkan amplop dari sakunya. Plan kaget. Ia diam dan kemudian mematikan mesin pengering rambut. Mereka duduk bersebelahan di tepi ranjang sekarang.
"Aku memerlukan uangnya. Untuk masa depanku dan orang tuaku. Aku tak bisa terus membiarkan kau mengulurkan tanganmu kepadaku," ujar Plan beralasan.
Amplop itu penerimaan pekerjaan Plan di Finladia sebagai manajer sebuah hotel yang cukup terkenal.
"Mai, kau tak boleh pergi. Aku tak izinkan kau ke mana-mana," ujar Mean dan tiba-tiba memeluk Plan dan tentu saja membuat Plan kaget.
"Mean, kau harus berpikir dewasa. Kau harus sadar suatu hari kita pasti akan berpisah. Kau harus bisa menerimanya," ujar Plan. Nadanya sedih dan matanya sebenarnya berkaca-kaca.
"Tidak bisa dan kita tidak akan berpisah. Aku mencintaimu, Plan," sahut Mean. Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua bahu Plan. Mean tahu Plan kaget dan itu bisa terlihat jelas di wajahnya.
"Aku mencintaimu. Selama ini aku menyembunyikannya. Aku takut kau akan menertawaiku atau menolakku dan kau akan meninggalkan aku. Jadi, aku diam. Tapi aku tak bisa jauh darimu dan aku tak mau jauh darimu," ujar Mean dengan mata berkaca-kaca.
"Tolong jangan pergi! Aku tak sanggup hidup tanpamu," mohon Mean. Plan diam dan menatap Mean lama. Tangannya menjulur mengusap air mata di pipi Mean dan kemudian dengan perlahan, ia mencium bibir Mean. Mean melotot. Ia menatap Plan dengan pandangan tak percaya.
"Aku juga mencintaimu," ujar Plan sambil tersenyum.
"Plaaan! Sungguh!" Mean langsung memeluknya.
"Iya, sungguh!" ujar Plan membalas pelukan Mean sambil tersenyum. Mereka berpelukan cukup lama dan kemudian saling melepaskan pelukan lalu berciuman. Mereka berciuman lama.
"Aku ingin melakukannya denganmu. Aku sudah menahannya sangat lama," sahut Mean.
"Kau melakukannya dengan banyak perempuan," sahut Plan.
"Tidak, aku berbohong. Mereka hanya makan dan jalan denganku. Kami tidak pernah ke hotel. Kondom yang kau temukan di kasurku, aku main sendiri dan berfantasi tentangmu. Aku sungguh menyedihkan!" ujar Mean lagi.
"Iya, kau menyedihkan! " ujar Plan sambil tergelak. Mereka berciuman lama.
"Kau harus menahan desahanmu. Pho dan Mae ada di bawah," bisik Plan.
"Iya," ujar Mean dan mereka berciuman.
"Hmmmm, nnnngh, aaag, enaaaj sekaliii, unnnngh!" desah Mean panjang saat naganya mulai menggoyang Plan.
"Meaaan, jangan mendesah, nnnngh!" bisik Plan sambil memukul dadanya pelan.
"Maaf, aku tak tahan. Ini enak sekaliii!" gumam Mean dan ia memejamkan matanya sambil mendorong maju mundur di bawahnya.
"Baby, astagaaaa!" desah Mean di telinga Plan. Keduanya berciuman lekat dan menahan desahan itu dan Mean masih asyik dalam permainan mereka sampai tak lama kemudian mereka mencapai puncak bersamaan.
"Masih mau, Babe!" bisik Mean sambil memeluk Plan dan mencium pucuk kepalanya.
"Besok kau masih bisa melakukannya. Di apartemenmu, sepuasmu, na! Sekarang tidur!" bisik Plan sambil mengelus wajah Mean yang tengah memasang ekspresi merajuk.
"Baiklah. Aku akan sabar," jawab Mean.
"Aku mencintaimu sepenuh hatiku," sahut Mean.
"Iya, aku mencintaimu sepenuh hatiku," sahut Plan.
Mereka berciuman sebentar dan kemudian tidur.
Tamat