Brug. Mean terjatuh di atas arena es dengan pantat tepat pada hamparan es itu.
"Sial!" rutuknya kepada dirinya sendiri sambil memukul lantai es yang malah menggigit kembali dengan membuat tangannya menajdi merah.
Sebuah tangan mungil yang terbungkus sarung tangan berwarna pelangi menjulur ke arahnya, memberi tanda memberikan bantuan. Mean mengangkat kepalanya. Ia tertegun dengan mulut menganga.
"Kau tak apa-apa?" tanganny masih menjulur ke arahnya siap memberikan bantuan. Wajahnya terlihat sangat khawatir.
"Tidak apa-apa," sahut Mean sambil menerima uluran tangannya dan kemudian berdiri.
"Ini pertama kali untukmu bermain skating?" tanya sang perempuan lagi.
Mean kaget."Bagaimana Khun tahu?" Wajahnya heran.
"Sebab cara mengikat tali sepatumu tidak benar," sahut sang perempuan sambil tertawa.
"Eh?" Wajah Mean langsung memerah.
"Uhm," gumam sang perempuan sambil menganggukkan kepalanya.
"Ayo kubantu. Tapi Khun ke pinggir dulu ya!" sahut perempuan itu lagi dengan ramah. Mean menganggukkan kepalanya. Ia menuntun Mean dan mereka berjalan ke pinggir arena es lalu duduk di luar. Plan mengajarkan cara mengikat tali sepatu yang benar.
"Terima kasih, Khun, uhmm," sahut Mean.
"Plan. Namaku Plan Rathavit," jawab sang perempuan lagi.
"Siapa nama Khun?" tanya Plan.
"Mean, aku Mean Phiravich," sahut Mean.
"Senang berkenalan denganmu, Khun Mean," sahut Plan ramah.
"Aku juga," jawab Mean
Lalu keduanya bersalaman.
"Kenapa kau ingin belajar skating? Ada alasan khusus?" tanya Plan sambil tersenyum.
"Bagaimana kau tahu aku sedang belajar?" tanya Mean lagi.
"Sebab sepatu yang kau pakai adalah sepatu sewaan khusus pemula," ujar Plan lagi.
"Ah, begitu!" sahut Mean sambil menggaruk kepalanya pelan.
"Kenapa Khun belajar skating?" sekali lagi Plan bertanya. Mean diam sejenak dengan wajah memerah.
Mean lalu menjelaskan alasannya kenapa ingin bermain skating. Ia menyukai seorang perempuan, teman sekelasnya, bernama Jane. Jane sangat pintar bermain skating. Ia ingin mengesankan Jane dan menunjukkan bahwa ia layak menjadi lelaki pilihannya.
Plan tersenyum dan ia menganggukkan kepalanya tanda paham.
"O, kau romantis sekali!" sahut Plan.
"Kalau begitu, mau kuajari?" tanya Plan.
"Eh! Aku tak punya uang untuk membayarmu," ujar Mean lagi dengan nada menyesal.
"Aku tak meminta uang. Syaratnya hanya satu," ujar Plan.
Mean mengernyitkan alisnya sambil menatap Plan.
"Kau harus rajin dan disiplin. Aku tak suka murid yang malas dan tak mau bekerja keras," sahut Plan lagi.
"Siap, Guru. Aku pasti bisa rajin dan disiplin," ujar Mean sambil memberi hormat. Plan tertawa.
"Khun lucu sekali!" ujar Plan sambil masih tergelak.
Manis! Itu pikiran Mean saat ia tak sengaja mengamati Plan yang tengah tergelak.
Mereka masih siswa SMA ternyata, sama-sama duduk di kelas satu semester dua. Mean dari SMA Ultimate Troop, sementara Plan dari sekolaj elit Wabisabi. Mean agak kaget saat tahu bahwa Plan sekolah di sana sebab setahu dirinya yang sekolah di sana hanyalah orang kaya dan pintar dan berbakat.
Mereka bertukar nomor kontak dan membuat jadwal untuk belajar skating. Setelah itu, mereka mulai belajar skating. Tidak terasa waktu terus berjalan dan sudah hampir sebulan sekarang. Mereka semakin dekat, meskipun zona pertemuan mereka sangat terbatas pada tempat belajar di arena es saja.
"Baiklah. Kurasa kau sudah cukup piawai sekarang. Lusa adalah pertemuan terakhir, na! Kurasa aku sudah cukup memberimu bekal," ujar Plan. Mereka tengah mencopot sepatu skating mereka.
"Eh, benarkah?" Mean terlihat bahagia dan juga sedih. Bahagia karena akhirnya ia bisa bermain skating. Sedih, tentu saja karena ia akan kehilangan teman baik seperti Plan.
Selama sebulan mereka bersama, Mean merasa Plan adalah perempuan yang sangat baik dan lembut dan tenang. Meskipun ia tak pernah bercerita tentang kisah dirinya atau cintanya, teman-temannya atau bahkan keluarganya, ia merasa Plan sangatlah perhatian dan penuh dengan kasih sayang.
Ini juga sejalan dengan wajahnya dan sikapnya. Menurut Mean, Plan sangat menawan. Ia cantik dan imut. Kulitnya putih dan mulus. Wajahnya begitu terawat. Bibirnya merah dan penuh. Matanya berbinar indah dengan alis yang panjang. Rambutnya hitam legam dengan gaya panjang lurus dan kadang-kadang bergelombang. Siapapun pacarnya, lelaki itu sangat beruntung.
Mean suka saat ia tidur sebab wajahnya terlihat sangat cantik. Ia sesekali bisa mengamati wajah tidurnya itu, khususnya ketika ia agak terlambat datang dan Plan sudah menunggu dirinya.
Mean sangat suka cara Plan bertutur kata, sangat lembut dan elegan dan menunjukkan bahwa ia bukanlah orang biasa. Sungguh, kadang-kadang ia minder bicara dengan Plan sebab ia merasa Plan seperti tuan Puteri atau keturunan bangsawan.
Mean mendapat pesan dari Plan. Hari yang dijanjikan untuk belajar es skating terakhir itu, Plan tak bisa datang. Ia sakit. Padahal Mean sudah membeli kue untuk berterina kasih. Akhirnya, kue itu ia makan.
Mean sedih sebab sudah hampir dua minggu Plan tak datang ke arena es. Ia bilang ia masih sakit. Jadi, Mean harus berlatih sendiri. Mean menurut. Ia memang selalu datang ke arena dan berlatih dan kadang-kadang merekam video dan mengirim kepada Plan untuk menunjukkan bahwa ia rajin berlatih.
Plan tak banyak memberi respons. Hanya emoticon jempol dan senyum dan tepuk tangan saja. Tidak ada kata di dalamnya. Sudah hampir sebulan sekarang dan Plan belun juga sembuh. Sungguh ia menjadi khawatir.
Mean mengirim pesan bahwa ia akan menjenguk Plan, tapi Plan tak mengizinkannya sebab ia ingin beristirahat dengan tenang. Mean menurut saja. Meskipun hatinya mulai merasa kosong dan kesepian.
Plan bahkan bilang sudah waktunya untuk Mean menunjukkan yang ia bisa kepada perempuan yang ia sukai itu. Plan yakin Mean bisa memenangkan hatinya.
Mean sendiri tak percaya diri. Tapi, Plan selalu menyemangati dirinya dan berbekal semangat itu, Mean akhirnya mencoba mendekati Jane.
Mean diterima oleh Jane sebagai pacarnya. Ia sangat bahagia. Ia bercerita tentang cerita itu dan Plan memberinya ucapan selamat dan emoticon senyum dan tepuk tangan dan jempol.
Bersambung