30 :: Rapuh

998 127 6
                                    

Series 1 :: Kita Putus!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Series 1 :: Kita Putus!

Sana berulang kali menatap kunci ruang latihan itu. Dia seharusnya merasa senang karena semuanya kembali, tapi kenapa Sana malah merasa gelisah seperti ini? Mengapa Sana merasa bahwa bukan ini yang seharusnya terjadi?

"Lo emang suka jalan ngelamun ya?"

"Jafar? Mana motor lo?"

"Di rumah, rusak."

Sana mengangguk ia bergeser sedikit memberi ruang pada Jafar untuk duduk di halte bus. Memang arah pulangnya akan berbeda nanti, tapi untuk beberapa halte mereka masih satu bus yang sama sebelum nantinya harus transit masing-masing.

"Hari ini hari buruk lo ya?" Sana tiba-tiba mengeluarkan suara yang membuat Jafar terkekeh. Bukan hal lucu, kekehan itu nampak datar.

"Kayaknya iya, lebih buruk karena enggak sesuai dugaan gue." Jafar menggerak-gerakan jemarinya, ia bukan Jafar si penyuka permen burger sekarang, ia terlihat sangat serius. "Gue enggak tahu sebenernya apa yang udah nimpa kita."

"Kita?"

"Iya kita, kita semua."

Jafar mendongak, melihat ranting-ranting yang tak terlalu banyak daunnya. Pemuda itu tersenyum kecil. "Gue seolah ngerasa kalo ada yang terikat, termasuk sama Renjani dan Samudra."

"Lo, Gue, anak band, Samudra, Renjani, semuanya kayak enggak asing, seolah gue pernah ngalamin sesuatu, perasaan yang gue sendiri enggak tahu San." Sana terdiam, mendengarkan pemuda itu dengan seksama. Jafar mode serius, on.

"Asal lo tahu, Toyo yang liat gue waktu itu emang bener tapi kejadiannya enggak seperti yang dia pikir, ya lo tahu 'kan Toyo itu asal ngomong dan ngambil spekulasi aja dari yang dia liat, tapi kalo lo mau tahu, sebenernya bukan kayak gitu." Jafar terlihat jujur, pemuda itu seolah berkata bahwa bukan ia yang sebenarnya. Namun, kenapa ia mengaku-ngaku? Apa sebenarnya yang sedang Jafar lakukan? Pemuda itu sama seperti Samudra, tidak mudah dimengerti dan juga melakukan semuanya sendiri. Melakukan dengan caranya sendiri seolah itu adalah yang terbaik dan benar.

"Terus kenapa lo yang ngaku-ngaku?"

Jafar menghela napasnya pelan. Ia mengusap kepalanya frustasi. "Gue kira semuanya berjalan sesuai dugaan gue, tapi enggak, enggak ada yang terjadi selain gue dapet peringatan keras."

"Apa yang lo duga?"

"Renjani, dia yang ngasih gue itu, katanya hadiah dan pergi gitu aja." Sana benar-benar terkejut. Dia mulai merangkai pertanyaan-pertanyaan. Sana tidak bisa diam. Gadis itu memang selalu berada pada jalan tidak peduli dan hidup santai-santai saja tanpa mengundang pertengkaran. Namun, kali ini Sana ingin mencari tahu lebih. "Gue bingung kenapa dia tiba-tiba minta ketemu disana dan malah berbuat enggak jelas, ya emang sih gue pernah deketin dia, tapi tanggapannya pas gue deketin itu aneh."

"Aneh?"

"Renjani itu, bertingkah kayak lo pas gue deketin dia." Jafar menoleh menatap Sana yang raut wajahnya benar-benar menampakkan wajah orang yang penasaran. "Enggak bukan, dia lebih cuek, seolah ada dendam sama gue."

"Dan sialnya, benak gue bilang bahwa itu bukan reaksi Renjani yang seharusnya ke gue, itu bukan kayak Renjani, padahal gue enggak pernah kenal dia, cuma sekilas aja, tapi kenapa gue seolah tahu?"

"Lo tahu 'kan gue emang ngedeketin siapa aja? Tapi itu semua karena alasan, termasuk Renjani dan lo, itu karena gue yang penasaran sama tingkah Samudra makanya gue deketin lo berdua." Jafar benar-benar bercerita sangat panjang, dia seolah-olah sudah tidak tahu lagi harus apa. Jafar yang biasanya santai dan tenang, tidak terlihat seperti itu sekarang. "Dan tingkah dia yang aneh seolah pengen ngejebak gue tapi gue tahu dan ikutin permainannya, gue kira dia bakal keluar dan ngelakuin apa lagi, tapi enggak, dia diem, dia enggak berbuat apapun, tatapan dendamnya hilang dari gue dan sekarang menuju ke orang lain."

"Siapa?"

"Lo, San."

••

"Udahlah San, masa gara-gara kunci latihan yang lupa lo bawa, lo jadi diem gini, kita 'kan enggak latihan juga sekarang." Sean menepuk-nepuk kepalanya, menawarinya untuk pulang bersama dan tentu saja Sana mengangguk menjawabnya. Gadis itu berbohong saat di kantin tadi kalau kunci ruang latihan tertinggal dan ia lupa menaruhnya dimana. Hanya agar mereka mengiyakan saja, dan hanya agar Toyo tidak mengiranya kesurupan.

Sean memberinya helm. "Serius deh San, lo itu harus hindari dari berpikiran negatif, nanti lo sendiri yang lelah."

Sana mengangguk. "Iya-iya Sean."

Gadis itu tersenyum kecil dan memakai helmnya. Namun, pergerakannya terhenti saat melihat Renjani yang berdiri di depan parkiran menunggu Reno yang sedang mengambil motornya. Sana tidak bisa memalingkan wajahnya yang membuat mereka akhirnya bertemu pandang.

Sana kaku, dirinya terdiam tidak bergerak dan hanya menatap Renjani. Renjani yang tersenyum kepadanya dengan lembut dan indah. Renjani yang anggun seperti biasanya.

"San?"

"Eh iya, maaf Sean."

Sean menghembuskan napasnya pelan. "Ya ampun San, lo lagi ada beban apaan sih? Ayok gue traktir makan es krim, mau?"

"Mau, tapi bebas ya gue pilih rasa apa?"

"Loh udah ditraktir ngelunjak ya?" Sean mengacak-acak rambut gadis itu membuatnya tertawa. Sejenak melupakan Renjani yang kini sudah pergi bersama Reno. Seperti kata Samudra, semuanya akan berjalan dengan semestinya.

Iya, Sana hanya tinggal menunggu agar semuanya berjalan dengan semestinya.

Dan seperti kata Sean, berpikiran negatif hamya akan membuat kita lelah.

Jadi, Sana hanya ingin melalui waktu seperti Sana yang biasanya. Dan sembari mencari tahu.










[]

MTF : Kita Putus! [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang