Bab 17

2.6K 403 30
                                    


Jessica dan Ibunya baru saja selesai makan siang bersama di sebuah restoran. Mereka selalu menghabiskan waktu bersama jika Jessie memiliki waktu luang.

Setelah selesai makan, Jessie mengajak Ibunya ke sebuah toko tas merek ternama yang harga satu atasnya bisa mencapai ratusan juta rupiah.

"Jessie jangan belanja lagi Nak. Nanti Papi kamu marah." Dewita melarang putrinya berbelanja karena kemarin mereka baru saja berbelanja.

Ramlan suaminya sudah memperingati dirinya untuk belajar berhemat karena tak selamanya hidup mereka akan sekaya ini. Ada masanya mereka tidak bisa menjalani hidup semewah ini.

Dan ketika itu terjadi Ramlan takut anak dan istrinya tidak akan kuat untuk menjalaninya. Jadilah Ramlan meminta istrinya untuk belajar hidup sederhana, meskipun sudah di peringati sejak dulu namun baik Dewita maupun Jessica mereka sama-sama keras kepala hingga mengabaikan perintah Ramlan.

Namun belakangan ini Dewita merasa suaminya mulai menekan dirinya. Ramlan mulai berkata keras jika ia membantah dan Dewita tidak mau dibentak lagi oleh suaminya.

"Alah Mi. Papi tuh nggak berani sama Mami, ngapain sih takut lagian Papi udah kaya tujuh turunan mau ngapain coba sampe harus berhemat segala." Ucap Jessica memaksa Ibunya untuk tetap berjalan memasuki toko itu.

Benar juga, kan suaminya udah kaya raya sejak dulu jadi mana mungkin mereka jatuh miskin lagipula Jessie punya penghasilan sendiri. Jadi nggak perlulah hemat-hemat segala.

Dengan hati riang seolah lupa peringatan suaminya, Dewita dan putrinya mulai memasuki toko tas tersebut dan jiwa-jiwa shooping mereka langsung bergejolak saat melihat deretan tas-tas cantik yang berjejer di rak nya.

Di lain tempat, terlihat Ramlan yang memijit pelipisnya. Kerugian yang perusahaannya alami kali ini benar-benar membuatnya sakit kepala.

"Ini nggak bisa diperbaiki lagi Pak?" Ramlan bertanya pada salah seorang kepercayaannya. Maksud Ramlan diperbaiki adalah sistem operasi perusahaannya yang goyah saat ini.

"Bisa tapi butuh waktu dan suntikan dana yang tidak sedikit Pak."

"Bagaimana mungkin Pak Basri melakukan hal setega ini sama saya dan perusahaan Pak?" Ramlan benar-benar tidak menyangka jika orang yang sangat ia percayai tega mengkhianati dirinya seperti ini.

Pak Basri yang merupakan manager keuangan di perusahaannya membawa kabur seluruh dana yang akan mereka kucurkan untuk pembangunan sebuah proyek di kota yang Ramlan kunjungi saat ini.

Siapa yang sangka jika Ramlan justru menerima kabar buruk alih-alih kabar baik yang mampu membuatnya tersenyum.

"Jika dalam waktu dekat kita tidak menerima suntikan dana saya takutkan perusahaan kita harus gulung tikar Pak."

Ramlan sontak memejamkan matanya. Perasaannya remuk redam ia tidak menyangka jika perusahaan yang ia bangun dengan susah payah berada di ambang kehancuran dalam kurun waktu yang sangat cepat.

"Saya akan cari dana supaya perusahaan kembali stabil." Putus Ramlan sebelum beranjak meninggalkan salah satu anak buahnya.

Ramlan berjalan gontai menuju kamar hotelnya. Ia ingin menghubungi putrinya mendengar suara Prilly pasti membuat suasana hatinya membaik. Hanya Prilly obat di segala kegundahan yang ia rasakan.

***

Ali kembali melirik kearah Prilly yang masih bercengkrama dengan anak-anaknya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang kembali ke kota mereka.

Arjuna ikut pulang bersama mereka. Ariska mengamuk ketika Arjuna ingin kembali ke asramanya. Ariska meminta Arjuna untuk ikut bersamanya. Ariska meminta Arjuna pindah ke sekolahnya.

Ali sempat meminta Ariska untuk bersabar namun yang namanya Ariska mana tahu kata itu bahkan ketika Prilly memberi pengertian pun gadis kecil itu tetap meminta Arjuna ikut dan bersekolah bersamanya.

Dan akhirnya, karena jiwa Ali yang lemah jika berkaitan dengan anak-anaknya, pria itu mengabulkan permohonan Ariska.

Arjuna juga terlihat sangat bahagia pulang bersama Abi-nya meskipun ia sedikit was-was dengan reaksi Nenek dan Papanya nanti.
Kedua orang itu memang terlihat sekali seperti anti dengan mereka.

"Pa kami ke rumah Bunda boleh?" Arjuna bertanya saat Ali sedang menghentikan mobilnya di sebuah spbu.

Ali menoleh menatap putranya. "Ngapain Bang?" Tanyanya sebelum melirik ke arah Prilly yang ternyata sedang melirik dirinya juga.

Lirik-lirik aja terus sampai sukses!

"Mau main ya kan Dek?"

"Heeum Bang. Enak loh rumah Bunda gedenya tuh kayak rumah Abi juga ya walaupun ada Tante lampir disana." Celoteh Ariska yang membuat Prilly terkekeh, Ali juga seperti tahu siapa Tante lampir yang dimaksud oleh putrinya.

"Tante lampir siapa Dek?" Arjuna terlihat kebingungan juga penasaran dengan Tante lampir yang dimaksud oleh Adiknya.

"Penunggu rumah Bunda." ceplos Ariska santai yang kali ini tidak hanya membuat Prilly tertawa namun juga Ali. Pria itu ikut terkekeh mendengar perkataan putrinya. Ada-ada saja Ariska ini, jika sampai gadis kecil itu Tante lampir yang sedang ia bicarakan adalah model Abi-nya mungkin kerusuhan akan kembali terjadi di dalam mobil ini.

Ali meminta pekerja spbu untuk mengisi bahan bakar mobilnya sambil menunggu tangki bensinnya penuh dan anak-anak juga sedang bercengkrama berdua membahas tentang Tante lampir, Ali melirik Prilly di sampingnya rupanya wanita itu sedang melamun.

Ali kembali membuka suara perihal lamarannya tadi. "Bagaimana jawaban kamu?"

Prilly menoleh menatap Ali, haruskah pria itu membahas tentang lamaran itu di dalam mobil begini?

"Saya belum tahu harus memberikan jawaban apa Mas." Terdengar helaan nafas berat Prilly. "Jika saya menolak maka saya harus bersiap dipinang oleh salah satu anak temannya Mami malam ini." Ali tidak terkejut lagi perihal itu, selain permintaan anak-anaknya salah satu alasan ia mendadak melamar Prilly adalah ingin membantu gadis ini.

Ia benar-benar penasaran dengan sosok Mami yang sedang diceritakan oleh Prilly. Benarkah Mami itu Ibu kandungnya Prilly? Tapi rasanya ia ragu dengan hal itu.

"Tapi untuk menikahi Kakak tertua kamu--"

"Saya."

"Ya?"

Ali menatap Prilly lamat-lamat. "Yang akan kamu nikahi itu saya bukan Kakak tertua saya!"

Mata Prilly sontak membulat sempurna menatap Ali dengan pandangan tak percaya. "Benarkah?"

Dengan yakin Ali menganggukkan kepalanya. "Jadi kamu bersedia menikah dengan saya?"

Tanpa menunggu lama Prilly langsung menganggukkan kepalanya. "Sangat bersedia Pak. Tolong bawa saya keluar dari rumah itu." Mohon Prilly dengan mata berbinar penuh harap.

"Tentu saja. Saya akan melakukan apapun untuk kebahagiaan calon istri saya." Ujar Ali yang mampu membuat senyuman Prilly mengembang lebar.

Alamak manis banget nih mulut bapak-bapak anak dua! Gigit dikit boleh nggak sih?

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang