Bab 35

2.8K 387 20
                                    


Seperti kata Ali kemarin mereka akan bertemu di pelaminan minggu depan dan itu artinya Prilly dan Ali sudah memasuki masa pingitan.

Ali tetap beraktivitas seperti biasa begitupula dengan Prilly yang hari ini berniat ke sekolahnya. Ia harus memberi nilai akhir murid-muridnya untuk pengisian rapor nanti karena mungkin Prilly tidak bisa melakukannya. Bukan apa-apa jadwal pengambilan rapor sepertinya masih dalam masa cuti pernikahan yang Prilly ajukan.

Prilly tahu teman-teman seprofesi dirinya akan menyambut kaget berita bahagia yang Prilly bawakan. Mereka semua tidak percaya jika sosok guru cantik nan baik hati tidak sombong itu akan melepaskan masa lajangnya. Dan yang paling membuat mereka terkejut adalah ketika mengetahui sosok pria yang akan dinikahi oleh Prilly merupakan salah satu pria yang masuk dalam deretan pria-pria tampan nan mapan berdompet tebal yang sangat ingin dinikahi oleh wanita-wanita penduduk kota terutamanya.

Nilam paling heboh saat mengetahui jika Prilly akan segera keluar dari rumahnya mengikuti sang suami. Nilam saksi hidup bagaimana Prilly ditindas oleh Ibu dan Adiknya di rumahnya sendiri. Terkadang Nilam merasa heran kenapa Prilly bisa sesabar itu menghadapi ketidakadilan yang menimpa dirinya.

Dulu Prilly selalu mengatakan jika kesabarannya ini suatu saat pasti akan berbuah manis dan hari ini bukti kesabaran dari Prilly benar-benar terlihat manis.

"Selamat ya kesayanganku." Nilam memeluk erat tubuh mungil sahabatnya. "Sama-sama. Lo cepet nyusul gue ya." balas Prilly mengeratkan pelukan mereka.

"Amin. Doain ya?"

"Gue selalu doain yang terbaik untuk lo. Eh ngomong-ngomong nama lo sama calon mertua gue hampir sama loh."

"Benarkah?" Tanya Nila setelah pelukan mereka terlepas. Prilly mengangguk pelan. "Iya. Cuma beda satu huruf doang."

"Wah jangan-jangan jodoh nih! Mertua lo siapa tahu jadi mertua gue juga kan?" ujar Nilam ngawur.

"Bisa jadi sih kan calon suami gue anak kedua dia punya Abang satu." Mata Nilam sontak berbinar menatap Prilly dengan penuh harap. "Wah aroma-aromanya gue bakalan iparan sama lo nih!" Katanya sambil menaik turunkan alisnya.

Tawa Prilly terdengar meledak, mereka sedang duduk bercanda di bangku taman. Sebenarnya tujuan Prilly ke sini selain menyerahkan surat cutinya dan memberitahukan perihal pernikahannya pada rekan-rekan sesama guru, Prilly juga ingin bertemu dengan si kembar yang menurut informasi dari Ali mereka sudah bersekolah bersama.

Arjuna benar-benar berhasil pindah ke sini setelah bujukan Adik kembarnya. Ali dan Prilly hanya berkomunikasi melalui sambungan telfon atau saling menukar kabar melalui pesan selebihnya mereka benar-benar tidak berjumpa sama sekali.

Terkadang Prilly masih merasa jika dirinya sedang bermimpi saat ini, rasa-rasanya seperti tidak mungkin dari niat awalnya menolong Ariska takdir menyeret dirinya hingga akhirnya ia menyandang status sebagai calon istri Ali.

Semua bagaikan mimpi namun teriakan dua bocah kembar dengan suara lantang dan cempreng mereka membuat Prilly yakin jika saat ini ia benar-benar tidak sedang bermimpi.

"BUNDAA!!!"

Prilly membuka kedua lengannya bersiap menyambut kedua anak kesayangannya itu. Ah, Prilly benar-benar sangat menyayangi si kembar sepenuh hatinya.

***

"Si kembar dekat banget sama lo ya?" Prilly tersenyum kecil pada sahabatnya. "Ya begitulah."jawabnya sambil mengusap sudut bibir Chacha yang belepotan dengan coklat.

"Gue turut bahagia buat lo." Ucap Nilam yang membuat mata Prilly kembali berkaca-kaca. "Terima kasih Nil untuk kebaikan lo selama ini. Terima kasih sudah mau jadi sahabat gue." Nilam mengangguk pelan matanya juga ikut berkaca-kaca namun sebelum air matanya jatuh Nilam terlebih dahulu mengeluarkan leluconnya. "Lo panggil gue Nil berasa kuda Nil aja gue." Celetuknya yang membuat tawa Prilly pecah.

Akhirnya mereka kembali bercanda tawa bersama sampai akhirnya menjelang siang Prilly baru kembali ke rumahnya. Si kembar juga sudah di jemput oleh Rendi, orang kepercayaan Ali dan dari pria itu pula Prilly tahu jika Ali sedang berada diluar kota untuk menghadiri salah satu meeting penting.

Prilly membuka pintu rumahnya yang langsung menangkap suara seperti orang berbicara di dalam rumahnya.
"Papi.."lirihnya pelan. Itu seperti suara Papinya tapi kenapa jam segini Papinya sudah di rumah?

"Saya belum mendapatkan pinjamannya bagaimana ini?"

Langkah kaki Prilly sontak terhenti saat mendengar suara lemah Ayahnya. Pinjaman? Untuk apa? Kenapa Papinya memerlukan pinjaman?

"Saya benar-benar tidak ingin perusahaan saya sampai gulung tikar! Perusahaan itu saya rintis dari nol dan karena orang biadab itu perusahaan saya jadi kacau seperti ini!" Suara keras Ramlan menunjukkan jika pria paruh baya itu benar-benar sedang emosi saat ini.

Prilly membeku, tubuhnya tak bergerak sama sekali ia benar-benar terkejut dengan kebenaran yang baru saja ia ketahui.

Demi Tuhan, Prilly benar-benar tidak menyangka jika selama ini Ayahnya sedang berjuang untuk memajukan perusahaannya kembali sebelum perusahaan yang beliau rintis itu gulung tikar.

Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa Papi nya tidak pernah berbagi cerita dengannya.

"Doakan saja saya bisa mendapatkan pinjaman dalam waktu dekat!" Ramlan memutuskan sambungan telponnya dan menghempaskan tubuhnya ke atas sofa yang ada di ruang keluarga.

"Papi.."

"Ya Nak?" Wajah Ramlan tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas kedatangan putrinya. "Kamu udah pulang Sayang? Bagaimana di sekolah tadi?" Ramlan berusaha terlihat santai namun ketegangan di wajahnya membuat Prilly menghela nafasnya.

"Sampai kapan Papi mau menyimpan semuanya sendirian?" Prilly menempatkan dirinya di sisi sang Ayah. "Prilly tahu Prilly tidak bisa membantu banyak tapi paling tidak dengan bercerita beban Papi sedikit berkurang." Ujar Prilly dengan senyuman teduhnya. Ramlan menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca ia tidak sedih karena perusahaannya yang nyaris bangkrut tapi ia sedih ketika mengingat jika sebentar lagi putrinya yang sangat ia cintai akan menikah dan pergi mengikuti suaminya.

Ramlan bukan tidak rela hanya saja ia seperti berat untuk melepaskan putrinya. "Putri Papi sebentar lagi akan menjadi seorang istri." Ucap Ramlan melenceng jauh dari pembicaraan yang sedang Prilly ingin bahas dengan Ayahnya.

"Pi.."

"Tenang saja Sayang. Papi yakin semuanya akan baik-baik saja." Ramlan berkata pelan sambil menarik Prilly ke dalam dekapannya. Memeluk Prilly selalu menjadi obat untuknya untuk semua kegundahan yang ia rasakan.

Prilly memejamkan matanya menikmati pelukan hangat sang Ayah. Meskipun Ayahnya berkata baik-baik saja Prilly yakin Ayahnya masih terbebani dengan masalah perusahaan dan Prilly memutuskan untuk tetap membantu Ayahnya bagaimanapun caranya.

Mungkin dimulai dari menjual tas-tas branded atau koleksi mobilnya saja. Ah ya benar begitu sudah benar iya kan?

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang