Bab 32

2.4K 365 22
                                    


"Kenapa Pa? Papa mau kemana sih? Nggak jadi ke kantor memangnya?" Nila tak henti-hentinya bertanya saat melihat suaminya kembali mengganti pakaian kerjanya.

Wijaya menoleh menatap suaminya. "Mama serius pengen punya menantu?"

"Ya iya dong Pa tapi hubungannya sama menantu sama tingkah Papa sekarang apa sih Pa?" Nila benar-benar tak habis pikir melihat kelakuan suaminya.

Tadi Wijaya sedang menyantap sarapannya setelah berolahraga pagi. Sejak perusahaan keluarganya dipimpin oleh Bima, tugas Wijaya menjadi lebih ringan. Pria itu hanya bertugas memantau saja karena selebihnya Bima yang mengerjakan termasuk meeting kecuali dengan klien-klien penting yang memang ingin bertemu langsung dengan dirinya.

Kembali ke kediaman Wijaya tepatnya di kamar pria paruh baya itu. "Mama mau ikut nggak? Kalau mau cepetan! Papa nggak bisa nunggu lama." Wijaya sudah selesai dengan pakaian kasualnya. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi namun gayanya masih bisa diadu dengan dua anaknya.

Wijaya tak kalah modis dan keren pastinya.

"Oke sebentar Mama ganti bra dulu." Nila segera melesat ke walk in closed miliknya dan suami untuk berganti pakaian dan sedikit berdandan tentunya.

Sedangkan diluar terlihat Wijaya yang menggerutu pelan. "Sialan kenapa calon bini anak gue harus putrinya si kunyuk itu!" Berbanding terbalik dengan mulutnya yang mencela di dalam hati Wijaya malah merasa sangat senang dan bersyukur.

Ketika Ali menghubungi dirinya tadi, ia pikir putra keduanya itu membutuhkan bantuan untuk menangani masalah yang sedang menimpanya namun alih-alih meminta bantuan Ali justru meminta datang ke rumah seorang gadis untuk melamar.

Wijaya tidak berbohong, Ali memang mengatakan dirinya ingin melamar seorang gadis namun Ayah sang gadis justru memintanya untuk datang dan ketika Ali menyebutkan nama Ayah si gadis, Wijaya langsung terlonjak kaget.

"Benarkah itu Ramlan?" Tanyanya ketika sambungan telepon masih terhubung.

Wijaya mendengar suara krasak-krusuk sebelum suara yang terdengar sangat familiar memasuki gendang telinganya.

"Woi kurap!"

"Sialan!" Wijaya langsung mengumpat pelan namun senyumannya seketika terbit di bibirnya. "Tungguin gue lo kadal! Awas kalau lo nggak ada pas gue datang!"

Dan sekarang Wijaya sedang berteriak memanggil sang istri yang tak kunjung keluar padahal cuma berganti pakaian dalam saja. Nila menggerutu kesal saat keluar dengan dandanan lebih rapi namun Wijaya tidak perduli ia harus segera tiba di kediaman si kunyuk itu.

"Cepatan Ma! Papa udah nggak sabar mau nendang bokongnya calon besan kita." Teriak Wijaya yang sudah menuruni tangga bahkan kali ini ia sampai lupa menggandeng istrinya.

"Papa kesambet setan apa sih? Kok jadi ngawur rada gila begitu?" Ujar Nila sambil menuruni tangga. Ia memacu langkahnya dengan cepat sebelum suaminya itu benar-benar meninggalkan dirinya.

Wijaya kalau sudah kambuh kadang kadar kegilaannya melebihi Bima yang sudah sedeng sejak lahir. Ini keluarga konglomerat apa orang gila sih?

Perasaan nggak ada yang beres selain Ali eh tapi kan Ali susah move on itu termasuk penyakit gila atau kurang waras juga nggak sih?

***

"Silahkan duduk Mas. Papi lagi siap-siap di kamar untuk nyambut kedatangan orang tua Mas sebentar lagi." Prilly baru saja menyuguhkan secangkir kopi susu untuk Ali yang duduk tenang di sofa berukiran emas di ruang tamu Prilly.

Ali mengangguk pelan. "Enggak apa-apa." Jawabnya kalem. Ali tidak terlihat gugup sama sekali berbeda dengan Prilly yang sejak tadi sudah berdebar tak karuan.

Prilly menoleh menatap Ali yang baru saja meletakkan cangkirnya setelah menyesap kopi susu yang dihidangkan oleh Prilly. Apa pria itu tidak gugup karena pernikahan mereka tidak seperti pasangan pada umumnya maksud nya karena tidak adanya cinta di antara mereka?

Mereka menikah karena kepentingan masing-masing tapi kenapa Prilly tetap saja merasa berdebar-debar seperti wanita pada umumnya.

"Jangan terlalu memikirkan sesuatu yang tidak perlu. Kita jalani saja semuanya dengan hati dan keikhlasan masing-masing." Suara berat Ali menyadarkan Prilly dari lamunannya.

Prilly mengangguk pelan, benar kata Ali jangan terlalu di ambil pusing yang terpenting adalah mereka sama-sama bisa menjaga komitmen setelah bersama nanti. Dan Prilly berjanji perlahan ia akan membuka hati untuk Ali melupakan Geo sepenuhnya.

Ah, ngomong-ngomong Prilly belum menceritakan perihal Geo yang sempat menghubungi dirinya subuh tadi namun tidak Prilly jawab rasanya sudah sangat terlambat untuk bercerita pada Geo setelah apa yang Prilly lalui bersama Ali. Biarlah Geo hanya tahu jika ia akan segera menikah. Itu saja karena mulai sekarang Prilly akan membatasi semuanya demi Ali yang harus ia jaga nama baiknya.

"Anak-anak gimana Mas?" Prilly bertanya keberadaan si kembar.

"Mereka sedang bersama Rendi jika kita sudah selesai dengan urusan kita nanti saya akan meminta Rendi untuk mengantar mereka ke sini." Ali berbicara panjang lebar sambil tetap fokus dengan ponselnya.

Prilly mengangguk pelan. Sepertinya Ali sedang bekerja jadi ia biarkan saja pria itu bekerja sementara dirinya pamit ke belakang sebentar. Setelah meninggalkan Ali di ruang tamu Prilly memilih menyambangi kamar sang Ayah.

Prilly tahu sedang ada yang tidak beres dengan Ayahnya sepertinya beliau sedang menyembunyikan sesuatu dari Prilly.

"Papi.."

"Masuk saja Sayang.."

Prilly segera membuka pintu kamar Papinya. Ia melihat sang Ayah baru saja selesai mengancingkan kancing kemejanya.

"Ada apa Nak?" Tanyanya setelah melihat Prilly duduk manis di ranjangnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi Pi? Kemana Mami? Dan Jessie apakah keadaannya baik-baik saja?" Prilly langsung mencerca Ayahnya dengan pertanyaan yang sudah sejak tadi ingin ia ketahui jawabannya.

Terdengar helaan nafas lelah dari Ramlan yang semakin membuat Prilly yakin jika di rumah ini pasti sudah terjadi sesuatu yang buruk. Apa mungkin karena berita dirinya dan Jessica?

"Pi foto yang Papi dilihat di media sosial tentang aku dan Mas Ali tidak seperti yang diberitakan oleh orang-orang diluar sana Pi. Aku benar-benar tidak berbuat sesuatu yang aneh dengan Mas Ali semua hanya salah paham saja." Prilly berusaha menjelaskan pada sang Ayah. "Dan aku yakin jika kasus Jessica juga sama, pasti ada kesalahpahaman di sana Pi." sambung Prilly berusaha membela Adiknya.

Ramlan mendongak menatap langit-langit kamarnya lalu tersenyum kecut. "Sifat Jessica benar-benar menuruni sifat Ibunya. Binal."

"Papi!" Prilly terlonjak kaget saat Ayahnya bisa berkata sekasar itu untuk Ibunya. "Papi kenapa sih? Kenapa Papi tiba-tiba menghina Mami. Apa salah Mami Pi?"

"Banyak. Sangking banyaknya Papi sampai tak sanggup menghitungnya lagi. Karena sudah tidak sanggup Papi hitung kesalahannya dan putri kesayangannya maka Papi memilih mengusir mereka." ujar Ramlan sambil menutup matanya.

"Astaga Papi. Kenapa Papi melakukan semua ini Pi?"

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang