Bab 2

2.5K 325 4
                                    


"Ini kenapa gaunnya jelek begini sih hah?!"

"Kemarin Mbak Jessie sendiri yang mau model ini kan Mbak?"

"Oh jadi maksud kamu selera saya yang jelek begitu?"

"Bu..bukan begitu Mbak."

"Udah kamu hari ini juga saya pecat!"

Inilah salah satu sikap Jessie yang banyak tak disukai oleh orang-orang sekitarnya termasuk manager dan dua asisten pribadinya yang sudah ia ganti nyaris 10 kali dalam waktu satu bulan.

Arga sang manager hanya menatap heran sang artis yang harus ia temani nyaris 24 jam itu. Raya dan Mega yang merupakan dua asisten Jessie juga menatap sinis Jessie yang sedang mengecat kuku-kukunya.

"Mbak kasihan si Melly Mbak pecat gitu baru kerja loh dia Mbak." Raya yang merasa kasihan pada asisten baru Jessie yang sedang menangis terisak-isak dibawah kaki Jessie ikut mengiba. Raya dan Mega memang sudah bekerja lumayan lama dengan Jessie sedangkan Melly adalah asisten tambahan yang Jessie minta pada perusahaan yang menaunginya.

Karena prestasi yang Jessie ukir membuat perusahaan sedikit menganakemaskan sosok Jessie yang membuat kelakuannya semakin semena-mena saja pada pekerjanya.

"Gue nggak butuh manusia nggak ada otak kayak dia! Di suruh itu saja nggak bisa! Bodoh turunan sih lo!" Jessie menyenggol lengan Melly yang menangis dengan ujung kakinya.

Arga dan yang lain saling berpandangan. Mereka benar-benar muak pada Jessie namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka masih membutuhkan pekerjaan ini.

"Meg lo cari gue gaun yang benar-benar glamor terus mahal untuk gue pakek malam lusa!"

"Oke Mbak!"

Jessie kembali mengurusi kuku-kukunya mengabaikan Melly yang masih menangis memohon di kakinya. Jessie benar-benar menyukai saat-saat seperti ini dimana ia bisa melakukan apapun termasuk mempermainkan perasaan orang kecil seperti Melly ini.

"Ayok Mel, Mas antar kamu pulang." Arga ingin membantu Melly namun dengan cepat Jessie melarangnya.

"Lo tuh kacung gue bukan dia! Ngapain juga lo sok-sokan bantu dia! Udah sana kerjain apa yang bisa lo kerjain!" marah Jessie yang membuat Arga urung membantu Melly.

Dengan bersimbah air mata Melly berdiri lalu ia tatap Jessie dengan pandangan terluka. "Sadar Mbak! Apa yang Mbak lakukan salah. Mending Mbak cepat-cepat taubat sebelum Tuhan mengambil semua kesenangan Mbak lalu digantikan dengan kesengsaraan."

"APA LO BILANG LO NYUMPAHIN GUE IYA? HEH BABU! LO NYADAR DIRI DONG LO LAGI NGOMONG SAMA SIAPA?!"

Melly mengusap air matanya lalu tersenyum kecil pada Jessie. "Nggak ada lebih penting dari seorang manusia selain adabnya Mbak. Mau siapapun Mbak dari keluarga manapun Mbak orang-orang nggak akan hargai Mbak kalau Mbak nggak bisa menghargai orang lain."

Jessie bungkam begitupula dengan Arga dan Raya. Mereka tidak menyangka jika Melly yang berasal dari kampung itu bisa berkata seperti itu pada Jessica.

"Kalau begitu saya permisi Mbak. Semoga Tuhan tidak membalas Mbak atas air mata saya hari ini. Saya benar-benar tidak bersalah Mbak saya bekerja sesuai dengan perintah Mbak tapi Mbak sendiri yang mengelak dan melemparkan kesalahan Mbak pada saya. Saya takut Mbak kena karmanya nanti." Ucap Melly dengan polosnya sebelum berbalik dan keluar dari ruangan khusus Jessie.

Keheningan melanda sampai akhirnya Jessie berceletuk. "Sok alim tuh manusia kampung!"

***

"Mas Ramlan?"

Ramlan yang sedang menunggu antrian panjang di bandara menoleh dan tersenyum lebar. " Juwita.."

"Iya Mas aku Juwita ternyata Mas masih kenal sama aku." Wanita bernama Juwita itu terlihat sumringah ketika bertatapan dengan Ramlan.

"Mas mau kemana?"

"Oh saya ada pekerjaan diluar kota." Jawab Ramlan tanpa menyebutkan kota yang ingin ia kunjungi.

"Sama Dewita?"

"Eum tidak saya sendirian." Ramlan tersenyum kaku saat mulai menyadari kemana arah pembicaraan teman lamanya ini.

Juwita teman sekaligus mantan kekasihnya dulu sebelum ia menikahi Dewita.

"Ah ya Juwita saya duluan ya." Ramlan segera meninggalkan Juwita padahal ia masih belum melakukan proses check in.

Ramlan memilih menghindari Juwita sebelum mereka terlibat kembali dalam perasaan lama. Jujur, Ramlan belum sepenuhnya melepaskan Juwita namun ia tidak berniat menyakiti istrinya meskipun sikap istrinya saat ini semakin keterlaluan saja.

Ramlan terlihat menghela nafasnya ketika bokongnya baru saja menempati kursi di sebuah cafe yang ada di bandara. Ia memang masih bekerja meskipun usianya tidak muda lagi selain karena belum ada yang menggantikan posisinya di perusahaan ia juga belum siap hati untuk menghabiskan hari-harinya bersama sang istri yang pilih kasih itu.

Ramlan merasa bodoh karena dirinya tidak bisa bersikap tegas pada Dewita yang semakin hari semakin menjadi-jadi saja sikapnya. Ramlan kadang tidak tega melihat putri pertamanya yang selalu saja mengalah karena keegoisan Adiknya.

Ramlan sudah pernah menegur Dewita untuk tidak terang-terangan membedakan anak-anak mereka toh di antara Prilly dan Jessie keduanya sama-sama anak kandung bukan anak pungut.

Tapi entah kenapa Dewita sangat menyayangi Jessie dengan mengabaikan keberadaan putri pertama mereka.

Prilly yang malang.

Di saat anak-anak konglomerat yang lain memilih berlomba-lomba memamerkan kekayaan orang tuanya putrinya itu justru memilih menjadi seorang guru. Pekerjaan mulia yang benar-benar menjadi mimpi Prilly sejak dulu.

Meskipun tidak setenar Jessie namun Prilly enggan membawa-bawa nama Ayahnya ketika memperkenalkan diri bahkan ketika dirinya di hina, Prilly tetap menyembunyikan status sosialnya berbanding terbalik dengan Jessie yang tak pernah melepaskan embel-embel Ramlan dibalik namanya.

Ketika Ramlan tanya kenapa Prilly memilih menutupi jati dirinya, putrinya itu hanya menjawab.

'Kakak pengen mereka kenali dan sayang sama Kakak karena diri Kakak sendiri bukan karena nama Papi yang ujung-ujungnya mereka hanya akan menjadi seorang penjilat.'

Ramlan tidak marah pada ungkapan putrinya justru ia merasa bangga pada pemikiran dewasa putrinya itu. Prilly memilih disayang dan dikenal karena dirinya sendiri bukan karena Ayah atau asal usul dirinya yang dari kalangan atas.

Ah, Ramlan jadi merindukan putri cantiknya itu. Sambil menunggu tiket yang baru ia memilih menghubungi putri cantiknya.

"Kakak pasti masih ngajar ini." Ujarnya sambil terkekeh sebelum menempelkan ponsel ditelinga kanannya.

"Halo putri cantik Papa.."

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang