Sepanjang malam Prilly menghabiskan waktunya dengan menangisi nasib buruk yang ia jalani. Sejak kejadian tadi sore Prilly memilih mendekam di dalam kamar.Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus ia lakukan menghubungi Papanya ia takut membuat Papanya cemas padahal Ayahnya sedang bekerja.
Prilly kembali mengusap air matanya. Ia meraih ponselnya lalu ia tekan nomor Geo namun sayang panggilan darinya tak dijawab oleh pria itu.
Geo adalah pria yang sudah menempati hati Prilly bertahun-tahun namun pria itu hanya memandangnya sebagai Adik. Geo lebih memilih mencintai Jessie meskipun sampai saat ini Jessie tak membalas perasaan pria itu.
Geo tetap berjuang hingga akhirnya Prilly yang memilih menyerah. Bukankah percuma memperjuangkan seseorang yang justru lebih memilih memperjuangkan orang lain?
Namun meskipun berkata sudah menyerah Prilly masih tetap mengharapkan jika suatu saat nanti Geo bersedia membuka pintu hati untuk dirinya.
Prilly kembali meletakkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memang ditakdirkan untuk hidup sendirian di dunia ini bahkan Ibunya saja tidak memperdulikan dirinya. Lalu siapa lagi yang akan lebih perduli padanya?
Tidak ad--
Drrtt... Drrt...
Prilly menolehkan kepalanya ketika ponselnya berdering ia pikir panggilan dari Geo namun ternyata sederet nomor asing terpampang di sana.
Prilly mengernyit bingung namun tangannya tetap meraih ponselnya untuk menerima panggilan masuk itu.
"Halo.."
"Halo Ibu Prilly.."
"Chacha?"
"Iya Bu. Ini Chacha."
Prilly tersenyum lebar saat mendengar suara ceria anak itu. Ariska mampu membuat perasaannya sedikit membaik.
"Kenapa Nak? Kok malam-malam telpon Ibu? Chacha kenapa belum bobok Nak?" Prilly menyamankan posisinya berbaring di ranjang dengan ponsel menempel di telinganya.
"Chacha udah bobo di mobil tadi jadi kebangun nggak ngantuk lagi deh Bu. Oh ya Bu, besok jadikan kita jenguk Juna? Sekalian Ibu kenalan sama Juna siapa tahu Juna juga cocok sama Ibu kan?"
Prilly mengernyit bingung. Cocok tentang apa sih yang sedang di bicarakan oleh Ariska?
"Cocok apa Nak?"
"Cocok untuk jadi Mama ka-- Chacha udah telponannya?"
Jantung Prilly sontak berdebar ketika mendengar suara berat khas pria yang sedang berbicara dengan Chacha di seberang sana.
Bahkan tanpa sadar tangannya kini terangkat untuk menyentuh dadanya. Prilly bisa merasakan detak jantung nya yang begitu kencang di telapak tangannya.
"Ibu Prilly. Ibu.."
"Ah iya Nak. Kenapa Cha?" Prilly tergagap ketika Chacha memanggilnya kembali.
"Besok kami jemput pagi-pagi ya Bu. Soalnya kata Abi takut macet kalau kita pigi agak siangan, gitu Bi kan?"
Prilly mendengar suara pria yang menjawab iya, sepertinya Ali duduk begitu dekat dengan putrinya hingga suaranya yang bahkan gumaman saja bisa terdengar oleh Prilly.
"Baik Nak."
Prilly dan Chacha terlibat pembicaraan sejenak sebelum akhirnya sambungan telepon diakhiri karena Chacha mengeluh mengantuk padahal beberapa menit yang lalu dengan lantang gadis kecil itu berkata tidak mengantuk. Dasar Chacha!
Sebelum memutuskan sambungan telepon Chacha sempat berseru.
"Ibu simpan ya nomor Abi, kalau mau telponan sama Abi tanpa Chacha juga boleh mana tau Ibu benar-benar jadi Mamanya Chacha kan?"
***
Keesokan harinya Prilly sudah bersiap-siap untuk pergi bersama Ariska dan Abi-nya.
Prilly mengenakan jeans pudar dipadukan dengan long tunik yang membuat penampilannya begitu manis dan feminim. Rambut panjangnya ia kuncir kuda seperti biasa. Prilly memoles sedikit wajahnya dengan make up natural untuk menutupi wajahnya yang pucat karena terlalu lama menangis bahkan semalam ia hanya memejamkan matanya sekitar dua jam saja.
Prilly selalu terjaga seolah kata-kata benci dari Ibunya ikut menyusup ke alam mimpinya hingga membuat Prilly gemetar ketakutan.
Menghela nafasnya Prilly kembali mematut dirinya didepan cermin setelah merasa penampilannya sempurna ia raih salah satu koleksi tas miliknya tepatnya yang Ayahnya hadiahkan.
Untuk hari ini Prilly benar-benar ingin menikmati kemewahan yang ia miliki. Tanpa ragu Prilly meraih tas yang paling mahal di antara jejeran tasnya. Ia juga mengenakan jeans mahal tidak seperti biasanya.
Prilly benar-benar berbeda hari ini.
Setelah meraih tasnya ponsel yang ia kantongi berdering dan itu panggilan dari Ali maksudnya Ariska putri Ali.
"Halo Sayang.."
"Saya sudah didepan rumah Anda."
Degh!
Jadi yang barusan ia panggil Sayang itu Ali bukan Ariska? Ya Tuhan ini benar-benar memalukan. Prilly harus bagaimana ini? Ia benar-benar tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan Ali.
"Jangan terlalu lama berdandan perjalanan kita jauh."
"I..ya Pak. Saya sudah selesai dan segera turun."
Prilly langsung memutuskan sambungan telfonnya. Wajahnya berubah lesu, ia benar-benar malu untuk menemui Ali.
Argh! Kenapa ia tidak mendengar suara diseberang telfon dulu sih lalu baru menyapa mana sapaannya mesra begitu lagi. Ck! Benar-benar memalukan.
Dengan langkah gontai Prilly keluar dari kamarnya, ia sedang memikirkan tentang bagaimana ia bersikap didepan Ali. Biasa saja atau langsung minta maaf eh tapi minta maaf karena apa? Dia kan nggak sepenuhnya salah lah panggilan Sayang itukan ia tujukan untuk Ariska mana dia tahu jika Ali yang menghubungi dirinya.
Prilly menuruni tangga dengan wajah tertekannya sampai ia tak menyadari jika Dewita sejak tadi memperhatikan gerak-geriknya.
"Mau kemana kamu?"
Prilly sedikit tersentak kaget saat mendengar suara Ibunya. Tumben Ibunya sudah bangun jam segini?
Fyi, ini masih jam setengah 6 pagi loh.
Dan yang lebih mengherankannya lagi sejak kapan Ibunya bertanya tentang kemana ia pergi? Biasanya juga beliau cuek-cuek saja. Jika semalam tidak terjadi apa-apa mungkin Prilly akan menjerit bahagia karena Ibunya mulai menunjukkan perhatian padanya namun setelah tahu jika Ibunya membenci dirinya Prilly justru tersenyum masam.
"Ada acara sama temen." Jawab Prilly singkat. Ia tidak mungkin bersikap kurang ajar walau bagaimanapun ia tetap harus menghormati Ibunya meskipun Ibunya membenci dirinya.
"Kalau begitu aku jalan dulu Mi." Prilly segera beranjak meninggalkan Ibunya yang mematung sambil menatap kepergian putrinya.
"Jangan pulang malam! Karena nanti malam akan ada yang datang untuk melamar kamu."
Sontak kaki Prilly menghentikan langkahnya. Maminya barusan bilang apa?
"Maksud Mami apa?" Tanya Prilly setelah berbalik dan menatap bingung Ibunya.
"Anak teman Papi mau lamar kamu. Dan kamu harus mau!"
Bolehkah Prilly memilih mati saja?
*****
Pdf Karma Cinta udah ready yaa dear..
Nah untuk yang mau silahkan chat ke wa ya 081321817808
KAMU SEDANG MEMBACA
Ketulusan Hati
RomanceNext story aku setelah Karma Cinta yaa.. Ceritanya gk kalah seru kok.. Jangan lupa dibaca terus Vote dan komennya ya dear..