Bab 31

2.6K 401 26
                                    


"Kita kemana Jessica? Kita harus kemana?" Dewita tak henti-hentinya mengeluarkan air matanya setelah ia dan putrinya benar-benar diusir dari rumah yang sudah puluhan tahun mereka tempati.

Jessica menoleh menatap Ibunya. Saat ini mereka sedang duduk termenung di halte bus. Mereka sama-sama bingung harus pergi kemana di saat semua fasilitas yang Jessica miliki sudah diambil kembali oleh Ramlan pria yang selama ini ia pikir Ayah kandungnya ternyata kenyataannya ia hanya anak haram Ibunya.

Miris sekali.

Jessica tersenyum kecut dibalik masker wajah yang ia kenakan. Jessica jelas tidak bisa memperlihatkan wajahnya terlebih dengan keadaan menyedihkan seperti ini.

Ia tidak ingin ada berita buruk lainnya yang datang sementara berita buruk yang sedang ia alami saja belum tentu ada jalan keluarnya.

"Apa benar aku anak haram Mi?" Akhirnya Jessica berani menanyakan hal itu pada Ibunya. Sejak tadi ia memilih diam mempersiapkan dirinya untuk menerima kenyataan jika seandainya ia memang benar anak haram seperti yang dikatakan Ayahnya.

Bolehkah ia masih menganggap Ramlan Ayahnya?

Dewita menundukkan kepalanya tangisannya terdengar semakin kencang untung saja karena masih pagi kondisi di sekitar mereka cukup sepi. Ramlan berbaik hati dengan membiarkan mereka tetap tinggal di rumah itu sampai pagi menjelang dan subuh tadi ia dan Ibunya terpaksa harus angkat kaki dari sana.

Sejak semalam Jessica sudah memikirkan mengenai tempat tinggal mereka namun tidak ada satu tempat pun yang bisa menampung mereka. Disaat seperti ini Jessica menyesal kenapa dulu ia hanya berfoya-foya tanpa memikirkan apapun termasuk satu apartemenpun tidak ia miliki selain yang diberikan oleh Ayahnya dan sekarang semuanya diambil kembali oleh sang Ayah hingga akhirnya ia dan Ibunya menjadi gelandangan seperti ini.

Jessica benar-benar merasa miris dengan hidupnya. Ia tidak menyangka jika dirinya akan jatuh pada titik kehancuran seperti ini.

"Kamu buah cinta Mami dengan mantan kekasih Mami yang dulu sangat Mama cintai."

Jessica memejamkan matanya. Ia tidak menyangka jika inilah alasan dibalik rasa sayang Ibunya yang berlebihan padanya berbeda dengan Prilly.

"Dan Prilly adalah anak kandung Papi?"

Anggukan Dewita kembali memperlihatkan senyum penuh kemirisan di wajah Jessica. "Mami tidak menyayangi Prilly karena ia anak Papi sedangkan aku anak dari laki-laki yang Mami cintai begitu?"

Dan kembali kepala Dewita mengangguk hingga mengundang tawa Jessica. "Mami benar-benar lucu. Hahaha." Jessie terus tertawa dengan air mata yang mulai bercucuran. "Mami lebih menyayangi anak haram Mami daripada anak sah Mami.. Hahahah lelucon macam apa ini Mi?"

"Jessie dengerin Mami."

"Enggak! Mami yang harus dengerin aku!" Untuk pertama kalinya Jessica berteriak lantang di depan Ibunya. "Mami pikir aku bahagia setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi hah? Walaupun Mami menyayangiku dengan nyawa Mami sendiri dunia tetap akan mencelaku Mi! Dunia tetap akan menghina aku yang hanya anak haram hasil perselingkuhan seorang istri dengan mantan kekasihnya. Mami pikir setelah ini aku bisa hidup tenang lagi hah?!"

Dewita menangis tergugu. Ia tahu setelah ini putri kesayangannya akan menjalani hari-hari yang sulit terlebih setelah apa yang menimpa Jessie saat ini.

"Maafin Mami Nak. Maaf.."

"Apa dengan maafnya Mami semua akan kembali baik-baik saja?" Tanya Jessica penuh sarkas. "Semuanya sudah hancur Mi. Hancur! Aku bukan lagi putri dari Ramlan dan saat ini semua kekuasaan yang aku miliki semua ini lenyap! Semua lenyap dan itu semua gara-gara Mami! Semua gara-gara Mami!!" Jessie berteriak pada Ibunya sebelum beranjak meninggalkan Dewita yang semakin mengeraskan tangisnya.

***

Prilly meremas kedua tangannya saat mobil yang dikemudikan oleh Ali memasuki pelataran parkir rumahnya. Kediamannya terlihat sunyi sekali memang sudah biasa seperti ini namun kali ini terasa sedikit berbeda.

Rasa-rasanya aura rumahnya hari ini sedikit mencekam. Apa telah terjadi sesuatu di rumah ini?

Ali baru saja mematikan mesin mobilnya saat menoleh dan mendapati Prilly sedang melamun sambil meremas tangannya.

"Ada apa?"

Prilly sedikit terkejut saat mendengar suara Ali. Buru-buru ia menoleh dan tersenyum pada pria itu. "En..ggak apa-apa Mas. Ayok kita masuk!" Prilly terlebih dahulu turun dari mobil di susul Ali setelahnya.

Keduanya berjalan beriringan menuju pintu masuk rumah Prilly. Ali yang sudah pernah datang kemari jelas tidak merasa asing lagi dengan kemewahan rumah ini.

Prilly mulai mengetuk pintu rumahnya beberapa kali lalu menekan bel di samping pintu rumahnya. Prilly menoleh menatap Ali saat pintu rumahnya tak kunjung terbuka, Prilly lupa menghubungi Ayahnya tadi.

"Sepertinya nggak ada orang Mas. Papi nggak di rumah mungkin." Ucapnya pada Ali bertepatan dengan suara pintu terbuka.

"Sayang.."

Prilly menoleh dan tersenyum lebar menatap Ayahnya. "Papi.." Prilly segera melemparkan dirinya ke pelukan sang Ayah.

Ramlan menerima pelukan hangat putrinya dengan sepenuh hati. Obat luka hati dan jiwanya adalah Prilly. Pria itu merasa sangat bersalah pada putrinya karena selama ini ia biarkan Prilly hidup dalam ketidakadilan.

Prilly dibuang oleh Ibunya karena Dewita terlalu mencintai putri haramnya. Mengingat itu membuat dada Ramlan kembali memanas, rasa-rasanya ia belum cukup membalas perlakuan Dewita pada putrinya hanya dengan mengusir wanita-wanita itu seharusnya Ramlan lebih membuat mereka menderita.

"Papi kenapa?" Tanya Prilly saat melihat ekspresi wajah Ayahnya yang berbeda sekali hari ini. Prilly melepaskan pelukannya dan semakin menelisik wajah sang Ayah.

Ramlan berusaha tersenyum pada Prilly menyembunyikan amarah yang berkobar di dadanya. "Tidak apa-apa Sayang. Papi tidak kenapa-napa."

"Oh ya kamu datang dengan siapa?" Ramlan mengalihkan perhatian Prilly dengan menoleh dan menatap Ali. Ali yang sejak tadi berdiri di belakang Prilly segera melangkah mendekati Ramlan lalu menjabat tangan pria itu dengan penuh kesopanan.

"Perkenalkan saya Aliandra Wijaya Pak."

Ramlan membulatkan matanya. "Kamu putranya Wijaya? Kalau tidak salah kamu adalah Bosnya Jessica."

Dengan senyum sopannya Ali mengangguk. "Benar. Itu saya Pak."

"Saya teman Papa kamu. Coba hubungi Wijaya dan tanya padanya siapa Ramlan." Perintah Ramlan yang membuat Prilly dan Ali saling tatap dengan ekspresi kebingungan.

"Ayok silahkan telpon!"

"Sekarang Pak?"

"Iya masak besok keburu tidur dong saya." Canda Ramlan yang membuat Ali tersenyum kikuk.

Ini kenapa jadi disuruh telpon Papanya sih? Kan niat Ali ingin melamar. Aduh kacau!

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang