Bab 39

3K 388 10
                                    


"Ya sudah masuk sana mau jam 4 ini." Ali melirik arloji di tangan kanannya. Mereka baru saja kembali setelah makan bersama di warung tenda.

Prilly mengangguk pelan tangannya berniat untuk membuka jaket kebesaran milik Ali namun dengan cepat pria itu mencegahnya. "Ngapain di buka? Jangan pakai saja!" Ali benar-benar tidak ingin tubuh molek Prilly dinikmati oleh orang lain meskipun di jam segini orang-orang masih terlelap namun Ali tetap tidak ingin mengambil risiko.

Siapa tahu ada satpam atau pekerja di rumah Prilly yang sudah terjaga dan melihat keseksian calon istrinya. Tidak akan Ali biarkan!

"Kan udah sampe rumah loh Mas." Wajah Prilly terlihat bingung.

"Udah pakek aja. Cuaca dingin begini nggak baik untuk kesehatan apalagi calon pengantin kayak kamu." Ujar Ali yang membuat wajah Prilly merona seketika.

Ali sepertinya lupa jika mereka sama-sama calon pengantin. Dasar!

Prilly berdehem pelan. "Aku masih nggak nyangka kalau kita akan segera menikah."Ucapnya pelan namun masih jelas terdengar di telinga Ali.

Ali mengangguk setuju. Ia sendiri juga merasakan hal yang sama, sepanjang hidupnya ia hanya mengharapakan Nirina sebagai Ibu dari anak-anaknya tapi siapa sangka Tuhan justru mengirimkan Prilly untuk menjadi makmumnya.

Ali tahu setelah akad nanti semua tanggung jawab Prilly beralih padanya. Ia yang akan bertanggung jawab penuh atas kebahagiaan dan juga kesedihan Prilly nantinya. Ali sedang mengusahakan diri untuk menjadi sosok suami yang baik karena jauh dari lubuk hatinya ia hanya ingin Prilly bahagia bersamanya dan juga anak-anak mereka.

Tapi jika ditelisik kembali Ali merasa ragu justru pada dirinya sendiri, ia takut jika akhirnya bukan kebahagiaan yang ia berikan untuk Prilly justru sebaliknya. Ali takut setelah menikah dengannya Prilly justru semakin menderita.

"Hei.. Kamu kenapa melamun Mas?" Suara lembut Prilly menyentakkan Ali dari lamunannya. Ali menoleh lalu tersenyum kecil pada Prilly. "Mas sedang berfikir." Jawabnya tak jelas hingga membuat Prilly mengernyit bingung.

"Berfikir tentang apa?"

"Kita. Terutama kamu."

Prilly semakin mengerutkan keningnya. "Memangnya aku kenapa Mas?" Tanyanya lagi.

Ali menggerakkan tangan menyentuh puncak kepala Prilly membelai lembut kepala gadis itu hingga membuat Prilly menahan nafasnya. Lagi-lagi perlakuan manis Ali mampu membuat rona merah menjalar di wajahnya bahkan sampai ke lehernya.

"Mas hanya sedang mengukur kemampuan diri Mas untuk membahagiakan kamu, apa Mas sanggup atau tidak." Ujar Ali sambil terus mengusap lembut kepala Prilly.

Prilly memberanikan diri untuk menatap bola mata hitam milik Ali. Mata tajam yang kini sedang menyoroti dirinya dengan kelembutan. "Aku yakin Mas pasti mampu bahagiain aku dan anak-anak." Jawab Prilly penuh keyakinan hingga membuat kedua sudut bibir Ali tertarik membentuk sebuah senyuman manis yang membuat Prilly terpaku.

Kegantengan Ali benar-benar menyilaukan matanya.

"Terima kasih karena sudah mempercayakan kebahagiaan kamu pada Mas. Mas akan berusaha semampu Mas untuk tidak mengecewakan kamu." Janji Ali yang di amini oleh Prilly. "Semoga Mas bisa selalu mengingat dan memegang kata-kata Mas yang ini ya?"

"Iya Sayang.."

Untuk pertama kalinya Ali memanggil Prilly dengan panggilan Sayang hingga membuat Prilly tidak hanya Prilly melainkan keduanya sama-sama berdebar.

Ali bisa merasakan detak jantungnya seperti ingin mendobrak tulang dadanya. Ali belum pernah merasakan debaran jantungnya yang menggila seperti ini.

Begitupula dengan Prilly bahkan ketika bersama Geo saja ia tidak pernah merasa berdebar kencang seperti ini. Apakah benih-benih cinta sudah mulai tumbuh di antara mereka?

***

Pagi harinya dikediaman Wijaya terjadi 'keributan' dan semua itu berasal dari Nyonya besar yang berteriak memanggil putra keduanya, calon pengantin baru.

"Mas!!! Mas Ali turun! Mama mau ngomong serius ini!!"

"Kenapa sih Sayang pagi-pagi udah teriak aja?" Wijaya baru saja selesai berolahraga di taman belakang saat mendengar suara teriakan istrinya yang menggelegar dari dalam rumah.

"Ini lihat putra kita kembali membuat ulah Pa! Dan yang paling Mama keselin itu kenapa Ali harus bawa-bawa menantu Mama dalam skandal begini!" Nila nyaris membanting ponsel suaminya jika Wijaya tidak sigap mengambilnya.

"Kesel sih kesel Sayang tapi jangan main banting-banting hape Papa dong! Mahal ini Sayang."

Nila sontak mencibir melihat kelakuan suaminya. "Papa masih mentingin hape di saat calon menantu kesayangan Mama sedang di hujat habis-habisan!"

Wijaya mengernyit bingung. "Lah kenapa Prilly kita di hujat?" Tanyanya tak mengerti.

"Makanya Papa baca tuh berita sia-- eits istri Papa nggak boleh mengumpat!" Wijaya langsung menegur istrinya. Nila dengan wajah cemberut langsung meminta maaf.

"Ada apa Ma? Kenapa Mama teriak-teriak?" Ali baru saja turun bersama anak-anaknya. Arjuna dan Ariska menatap Nila sekilas sebelum berhamburan berebut memeluk Wijaya, Kakek kesayangan mereka.

"Aduh cucu-cucu Kakek udah ganteng dan cantik. Eum, Adek Chacha wangi sekali." Wijaya mencium cucu perempuannya dengan gemas.

Nila menatap si kembar sejak Ali memutuskan untuk menikahi Prilly ia jadi lebih sedikit melunak pada si kembar. Setidaknya Ali tidak lagi mengharapkan kembalinya perempuan yang sudah menghancurkan anaknya.

"Nenek kenapa liatin kita begitu?" Si ceriwis Ariska langsung bersuara saat melihat sang Nenek terus saja menatap kearahnya dan Kakak kembarnya.

"Enggak. Nenek cuma nggak nyangka aja cucu-cucu Nenek sudah sebesar ini sekarang." Nila mengangsurkan senyuman hangatnya yang membuat Ali dan Ayahnya saling berpandangan sebelum senyuman penuh kelegaan terukir di wajah keduanya.

"Nenek udah nggak marah lagi sama kami?" Kali ini si tampan Arjuna yang berbicara. Hati Nila sontak berdenyut sakit saat mendengar Arjuna bertanya seperti itu padanya.

Nila tahu sikapnya yang keras dan kurang perduli selama ini benar-benar sangat keterlaluan dan hari ini ia berniat untuk menebus semua kesalahannya.

"Enggak. Maafin Nenek ya Sayang." Nila mengambil alih cucu-cucunya dari sang suami namun ia tidak sanggup menggendong keduanya hingga Ariska dan Arjuna meminta diturunkan lalu mereka peluk Neneknya dengan begitu erat.

Hati Nila membuncah akan bahagia. Seharusnya ia sadar jika si kembar tak berhak disalahkan karena di sini mereka juga korban, mereka ditinggal oleh Ibu kandungnya yang lebih memilih karirnya ketimbang anak-anaknya.

Dan sejenak Nila melupakan tentang emosinya perihal berita tentang Prilly dan Ali yang semalam terlihat makan bersama di sebuah warung tenda.

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang