Bab 9

2.3K 332 17
                                    


Ali memilih sebuah restoran yang tak jauh dari rumah Prilly sebagai tempat makan siang mereka.

Ariska terlihat yang paling bersemangat memesan makanan sepertinya putri Ali itu sangat kelaparan.

Prilly memesan setelah Ariska dan Ali setelah Prilly. Mereka memilih duduk di meja paling sudut dengan Ariska ditengah-tengahnya.

"Bi apa sepertinya enaknya punya Mama?"

"Ya?"

Ali dan Prilly sontak terkejut dengan pertanyaan Ariska. Tatapan gadis itu terlihat polos menatap Ali dan Prilly secara bergantian.

"Chacha mau punya Mama bi. Apa Ibu Prilly bisa jadi Mama Chacha?" Tanya Ariska lagi yang membuat suasana di antara Ali dan Prilly semakin canggung.

Berkali-kali Ali berdehem sedangkan Prilly memilih menundukkan kepalanya menatap jari-jari kakinya di balik sendal rumahan yang ia kenakan.

"Chacha mau punya Mama?" Ali mengusap pelan kepala keponakan yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri. Dengan penuh semangat Ariska menganggukkan kepalanya. "Mau Bi tapi Mamanya bisa milih nggak? Kalau bisa Chacha mau Ibu Prilly yang jadi Mamanya Chacha nggak mau yang lain Bi." Celoteh Ariska dengan begitu menggemaskan.

Jika bersama Ariska, putrinya Ali tidak akan sulit mengumbar senyum mahalnya. Entah sudah berapa kali pria itu memberikan senyumannya untuk gadis kecilnya.

Sebelum Ali membuka suaranya pelayan datang membawa pesanan makanan mereka. Diam-diam Ali menghela nafasnya karena tidak perlu menjawab pertanyaan dari Ariska begitu pula dengan Prilly kedua orang dewasa itu terlihat begitu lega.

Prilly beberapa kali membantu Ariska yang terlihat kerepotan mengaduk makanannya. Prilly juga dengan sigap menyeka bibir dan dagu Ariska ketika anak itu mengotorinya.

"Jangan kena bajunya Nak." Peringat Prilly sambil membersihkan sudut bibir Chacha.

"Oke Ibu Prilly." Jawabnya dengan ceria seperti biasa.

Prilly tertawa pelan tanpa ia tahu jika semua gerak-geriknya sejak tadi tak lepas dari pandangan Ali. Pria itu begitu fokus melihat bagaimana Prilly memperlakukan putrinya.

Mereka bertiga menghabiskan waktu lebih lama hingga menjelang senja Prilly baru diantar oleh Ali ke rumahnya.

"Terima kasih sudah menjaga Ariska." Ucap Ali ketika Prilly akan turun dari mobilnya.

"Sama-sama Pak. Sudah tugas saya sebagai gurunya Chacha." Jawab Prilly kalem. Sebelum benar-benar turun dari mobil Ali, wanita itu menyempatkan diri untuk memanjangkan tangannya ke jok belakang untuk menyentuh pipi Ariska yang terlelap.

"Mimpi indah peri kecil." Gumamnya pelan namun terdengar jelas di telinga Ali. Setelah puas menyentuh pipi Ariska, Prilly pamit pada Ali lalu benar-benar turun dari mobil pria itu.

Ali tak langsung melajukan mobilnya, ia memilih untuk menatap Prilly yang berjalan menuju pagar rumahnya sampai akhirnya wanita itu benar-benar tak terlihat lagi baru Ali melajukan mobilnya menuju rumahnya.

***

"Dari mana kamu?"

Prilly tersentak kaget saat mendengar suara dingin Ibunya. "Makan Mi." Jawabnya singkat. Prilly tentu tidak akan menceritakan perihal dirinya yang pergi makan bersama Ali dan putrinya.

Maminya sangat mengidamkan Ali untuk menjadi suami Jessie dan jika beliau tahu Prilly baru saja pergi dengan Ali bisa-bisa dirinya dihujat habis-habisan.

"Siapa anak yang diceritakan oleh Jessie?"

"Muridku."

Beginilah interaksi antara Prilly dan Ibunya. Dingin, kaku dan layaknya orang asing. Prilly mulai terbiasa dengan dirinya yang dibenci oleh Ibunya sendiri entah apa salahnya hingga sang Mami begitu tak menyukai dirinya.

"Lalu kenapa murid mu menganggu putriku?!" Hardik Dewita membuat Prilly mendongak menatap Ibunya.

Jessie pasti sudah mengadukan masalah Ariska pada Ibu mereka dan selalu begini respon Ibunya jika Jessie merasa terganggu berbeda jika dirinya yang diganggu, Ibunya memilih diam seolah tak terjadi apa-apa.

Adil sekali bukan?

"Mi sebenarnya apa salah aku sampai Mami begitu membenciku seperti ini?" Alih-alih menjawab pertanyaan Ibunya, Prilly justru mengajukan pertanyaan lain.

Dewita bungkam. Yang seketika membuat senyuman miris Prilly terbit. "Mami tidak mengelak jadi Mami memang benar-benar membenciku? Apa salahku Mi?"

Dewita tak menjawab, wanita paruh baya itu hanya mendengus kesal sebelum beranjak meninggalkan Prilly yang menangis tergugu. Dadanya begitu sesak ketika melihat reaksi Ibunya.

Jadi selama ini Maminya memang benar-benar membencinya bukan?

Hari ini semuanya sudah jelas dan Prilly merasa dirinya semakin terpuruk, dulu mungkin ia masih bisa beranggapan jika Ibunya memanjakan Jessie karena Jessie anak bungsunya namun hari ini semuanya terpampang nyata.

Ibunya memanjakan Jessie karena beliau memang menyayangi Jessie sedangkan dirinya, perlakuan tak adil yang selama ini ia dapatkan ternyata memang karena Ibunya membencinya.

Prilly tidak bisa menggambarkan bagaimana hancurnya hatinya saat ini. Dia anak yang tidak diinginkan begitu kan?

"Nangis lo? Kasihan."

Prilly memilih untuk tidak menghiraukan kalimat ejekan yang Jessie layangkan untuknya.

"Makanya jadi orang tuh jangan sombong! Baru juga punya anak didik kurang ajar begitu udah songong!" Ejeknya lagi sebelum meninggalkan Prilly yang berdiri kaku diruang tamu.

Jessica akan pergi bersama teman-temannya dan ketika berjalan menuju pintu utama rumahnya dengan sengaja ia menyenggol bahu Prilly dengan cukup keras hingga membuat Prilly nyaris terjengkang ke lantai.

"Ups sorry!"

Prilly tahu Jessie tak benar-benar meminta maaf, wanita itu hanya sedang mengejeknya saat ini. Namun Prilly tetap memilih diam, ia sedang tidak ingin berdebat atau mencari masalah saat ini.

Yang ia inginkan adalah menenggelamkan dirinya di atas ranjang lalu menumpahkan tangisannya di bantal kesayangannya.

"Kalau gue jadi lo, udah tau nggak disayang mending gue minggat." Ujar Jessica sebelum pergi meninggalkan Prilly yang kembali mematung.

Pergi? Haruskah ia pergi dari rumah ini? Tapi kemana?

Prilly benar-benar bingung ia tak tahu harus mengambil kesimpulan seperti apa, haruskah ia tetap bertahan dengan tinggal di sini meskipun kebencian Ibunya padanya akan semakin menjadi-jadi atau lebih baik ia segera angkat kaki dari rumah ini dan mencari kebahagiaannya sendiri lalu bagaimana dengan Papinya?

Mengingat Ayahnya air mata Prilly kembali jatuh, Prilly sangat menyayangi Ayahnya dan di rumah ini hanya Ayahnya yang satu-satunya keluarga yang ia punya yang benar-benar tulus menyayanginya.

Ya Tuhan apa yang harus Prilly lakukan?

*****

Ketulusan HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang