34. Tuduhan

683 178 3
                                    


Have a nice Sunday! Jangan lupa vote dan comment ya

——————

Hari ini bukan hari Senin, tapi apel pagi mendadak dilaksanakan. Walaupun sudah tau kalau ini pasti berkaitan dengan masalah kemarin, Hardan tetap bertanya pada salah satu teman kelasnya yang anak OSIS. Katanya sih, mereka ngikutin perintah dari guru aja.

Sama seperti duo Jan –dan mungkin juga Wanda serta Dion, Hardan selalu kebagian berdiri di barisan belakang tiap upacara atau apel. Tinggi mereka emang di atas rata-rata, tapi buat Hardan itu menguntungkan karena kakinya masih bisa bebas bergerak tanpa harus takut terlihat oleh guru.

"Lo liat ada kepsek?" bisik Jerico yang baris di samping Hardan.

Hardan mengerutkan kening. Pasalnya, Jeri sama sekali tidak menengok ke arahnya. "Lo ngomong sama gue?"

Jerico mengangguk pelan. "Gue takut ketauan kalo nengok. Lo liat ga di barisan guru?" tanya cowok itu dengan masih berbisik. Kedua matanya pura-pura fokus ke depan.

Cowok bersuara berat itu langsung mencari keberadaan si Kepala Sekolah dari sudut matanya. Para guru berbaris di seberang barisan kelas 12. Cukup jauh untuk dilihat hanya sekilas. Setelah mencari dengan hati-hati dan sedikit kejelian, kedua netra Hardan sama sekali tidak menemukan Pak Suseno.

Tepat saat pemimpin apel memerintahkan untuk posisi tegak setelah hormat, Hardan berbisik kepada Jeri. "Gue ngga liat, Jer."

"Eh, iya. Soalnya doi jadi pembina apelnya, hehe. Sorry, gak keliatan sama mata gue tadi," balas Jeri dengan disertai cengiran meminta maaf.

Hardan menggerutu pelan. Namun kekesalannya langsung menghilang begitu saja ketika Kepala Sekolah memulai amanat untuk apel kali ini. Bukan, bukan karena suara Pak Suseno yang serak dengan intonasi mendayu-dayu yang bikin ngantuk. Justru di apel kali ini, untuk pertama kalinya setelah menjadi murid di sini, Hardan mendengar geraman sebagai pembuka pidato setelah salam yang keluar dari mulut beliau.

"Saya ngga akan basa-basi kali ini. Kalian tau masalah di Ruang Guru kemarin? Hanya orang tidak beradab yang melakukannya."

"Saya dan para guru percaya kalau pelakunya merupakan murid di sini. Besar perkiraan mengarah pada orang yang menyebarkan berita asal-asalan melalui mading di semester kemarin. Pasti orang yang sama. Saya beri peringatan, siapa pun kalian, saya minta untuk segera mengakui dan mempertanggungjawabkan perbuatannya."

Pidato yang cukup singkat dibalut dengan ketegasan di dalamnya. Setelah beliau mengucapkan salam penutup, Hardan mengambil satu langkah mundur. Cowok itu melirik ke beberapa barisan di sebelah kirinya.

Seperti yang sudah ia duga, Jani mengepalkan tangannya dengan kesal di barisan kelas 11 sana. Kening cewek itu mengerut tak terima. Hardan lalu mengalihkan pandangan ke kanannya, menuju barisan kelas Dion. Dengan segera mereka beradu kontak seakan saling mengirim kode.

————————

"Bangsat. Bangsat banget, asli," umpat Jani di rooftop rumah Wanda sore ini.

Berhubung suasana mereka sedang tidak bersahabat, Janu menyarankan untuk pindah dari ruang tengah. Dengan berada di lantai paling atas rumah gedongan ini, mereka bisa menghirup udara sore hari dan memandang langit jingga. Di atas meja kayu yang bisa dipakai untuk barbeque itu terdapat beberapa snack dan minuman kemasan.

"Gak abis pikir. Apa susahnya, sih, ngakuin kalo gosip yang gue tempel itu bener? Berita asal-asalan pala lu peyang!"

Janu yang melihat emosi di raut wajah adik kelasnya itu langsung membuka sekaleng soda dan menyerahkannya ke Jani. "Minum, nih. Marah-marah mulu, pasti haus, kan?"

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang