10. Sepi

999 229 4
                                    

Kebiasaan ngumpul sore selepas pulang sekolah di rumah Wanda tetap dilakukan walaupun nggak ada Jani. Keempatnya seperti biasa lagi walaupun kemarin habis ada keributan. Janu masih mabar sama Hardan, Dion masih ngotak ngatik laptop dan Wanda dengan tugasnya.

Bukannya ingin rajin, Wanda itu dipaksa rajin. Walaupun kedua orangtuanya nggak di negara ini, mereka bisa aja tiba-tiba muncul di depan pintu kalo nilai Wanda turun. Keinginan masuk IPA? Dari orang tuanya. Wanda sendiri bingung minat dia sebenarnya apa. Terlalu sering didikte bikin dia ngga tau keinginan diri sendiri.

"Jani dimana, Wan?" tanya Janu dengan mata yang tetap fokus ke layar ponsel.

"Kak Jani bolos. Siang tadi baru balik dari sini. Ngga tau kemana," jawab Wanda.

Hardan mengangguk, sama seperti Janu, kedua matanya masih setia pada ponsel. "Pantesan si Kahfi sendirian tadi."

"Lo ngga minta maaf, bang?" tanya Dion pelan. Dia takut aja tiba-tiba si abang kelas ngamuk.

Janu tersenyum kecil. "Gengsi. Nanti aja kalo dia balik sendiri."

Hardan tergelak. "Makan tuh, gengsi. Sama-sama salah, sama-sama gengsi. Lo lupa pas kapan tau dia marahan sama pacarnya, dia cerita gengsi buat minta maaf duluan?"

"Biarin aja, lah. Mungkin butuh waktu," balas Janu mengelak dari Hardan.

Wanda mengangguk setuju. "Kak Jani kayaknya lagi capek banget. Butuh ruang sendiri, kali."

Janu tiba-tiba mencubit pipi kiri Wanda. "Dewasa banget siiih, masih bayikkk."

"Ih, Kak Janu! Wanda bukan bayi!" ucap Wanda kesal. Ia mengerucutkan bibirnya, tapi malah makin membuat cewek itu terlihat menggemaskan.

"Bukan bayi tapi muka kayak bayi," ejek Hardan. Sesi mabarnya udah selesai ternyata. Tersisa Dion yang masih mengutak atik laptop.

"Itu jadinya temen lu gimana, bang?" tanya Dion dengan fokus masih ke layar laptop.

"Siapa? Si Lala apa Cella?" tany Janu sambil membuka toples cemilan di atas meja kopi.

"Siapa aja kek, itu kasus gimana kelanjutannya?" sahut Hardan dari sofa seberangnya.

Janu mengangguk pelan. "Cella sih kaget sama malu banget. Gue gak sekelas cuma kata anak cewek kelasan gue kayak gitu. Lala kayaknya udah gak peduli, beasiswanya udah dicabut juga."

"Ih... kasihan Kak Lala. Emang gak bisa balik lagi, gitu?" ujar Wanda iba.

Hardan menggeleng. "Tergantung kebijakan tiap beasiswa. Tapi kayaknya ngga bisa gampang balik lagi, sih."

"Orang yang ngubah siapa, Yon?" tanya Janu.

"Lah? Gue ngga tau. Gue cuma liat dari data rekapan itu sama nama si ranking 1 pas upacara MPLS kemarin."

Nama-nama murid yang berprestasi seperti ranking paralel jurusan dan angkatan memang  selalu disebutkan saat upacara hari pertama masuk sekolah. Seperti ajang memamerkan prestasi sekolah kepada para murid baru. Makanya Dion bisa tau nama si ranking 1 jurusan IPS tahun lalu di angkatannya Janu.

Hardan berdehem. "Ada permainan guru berarti. Pantesan kepsek marah besar pas tau."

"Kalo mau diusut, bisa sih. Input rapotnya kan online, bisa diliat yang input siapa. But it would take time," ucap Dion.

"Emang guru nggak gerak, gitu? Masa dari sekian banyak guru, pada diem-diem aja pas ketauan kayak gini?" tanya Wanda.

Terdengar suara tepukan dari tangan Janu. "Wanda keren," pujinya sambil tersenyum.

Hal itu berhasil membuat Wanda tersipu malu. "Apa sih Kak Janu."

Bukan tanpa alasan Janu kayak gitu. Dia jadi saksi sejak awal narik Wanda ke perkumpulan ini, dari cewek itu masih pendiam, sangaaat kalem. Sampai akhirnya berhasil menyuarakan pikirannya kayak tadi.

"Mending ngga usah, sih. Itu udah di luar kuasa kita juga. Lagian, lebih asik nge-spill aja. Sisanya biar yang bersangkutan yang urus," ucap Janu final. Ketiga utas di dekatnya mengangguk paham.

Mereka berempat akhirnya menghabiskan waktu dengan bercanda dan tertawa, terkadang juga diselipi gosip dari si abang kelas. Walaupun tidak sebanyak Jani, koleksi gosip Janu juga tidak bisa dibilang sedikit. Ingat kan, stok kontak cewek di hapenya tidak pernah habis?

Pukul 7 lewat, ketiga lelaki yang bertamu akhirnya pulang. Tak banyak yang bisa dibicarakan karena mereka belum mengendus hal-hal tak lazim terkait sekolah dan warganya. Mungkin mereka juga butuh waktu istirahat.

Setelah mengantar ketiga tamunya sampai gerbang, Wanda berjalan masuk ke rumah besarnya. Suasana ruang tamu yang tadinya hangat dengan canda tawa, seketika berubah menjadi dingin saat ia masuk.

Seperti yang telah disebutkan beberapa kali sebelumnya, Wanda tinggal sendiri. Tidak, dia tinggal dengan pembantu dan sopir. Orangtuanya? Masih hidup, sehat wal 'afiat (mungkin) dan tinggal di negara tetangga.

Kenapa Wanda tidak diajak serta? Entahlah, kedua orangtuanya punya alasan tersendiri. Wanda juga sudah tak peduli. Dulu dia meratapi nasib, sekarang ia berusaha berdiri sendiri. Hanya ada tantenya yang sesekali menengok dan mengambil rapotnya di sekolah.

Terlihat aneh memang, anak seperti Wanda ikut masuk ke kumpulan anak pemberontak seperti ini. Tapi asal kalian tahu, di dalam diri cewek remaja itu juga ada percikan api ingin melanggar aturan. Hidupnya terlalu dikekang di kandang emas sehingga muncul keinginan untuk melawan.

Tau, kan, kalau anak terlalu dikekang, nantinya akan memberontak? Wanda berada dalam tahap itu. And she keeps it all inside, alone.

———————

Halooo!

Mungkin ini agak telat, tapi aku mau kasih keterangan, in case ada yang ngga tau

utas = anak kelas 10, kelas satu SMA
aud = anak kelas 11, kelas dua SMA
agit = anak kelas 12, kelas tiga SMA

Jangan lupa comment+votenya yaaa!
Have a nice day!

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang