Enjoy Reading!———————
"Lo serius nyabut SNM, Jan?" tanya Kamal di sela-sela membereskan meja saat jam pelajaran terakhir selesai.
Janu yang sedang merogoh kolong meja itu hanya mengangguk seadanya. Tadi pagi, begitu ia baru menginjakkan kaki di kelas, wali kelas mereka langsung memanggilnya ke Ruang Guru. Namun keputusan Janu sudah bulat.
"Kenapa, nyet?" Gerakan Kamal terhenti sepenuhnya. Sejak pagi, Kamal sebenarnya sudah gatal ingin bertanya, namun belum sempat karena sepanjang hari mereka terus belajar.
Cowok di sebelahnya juga ikut-ikutan diam. "Gue nggak tau mau milih jurusan apaan."
"Sumpah? Itu alesan lo?" Kamal memutar tubuhnya ke samping hingga ia sepenuhnya berhadapan dengan Janu.
"Ada lagi, sebenernya. Tapi itu salah satunya," ucap Janu pelan.
Kamal menggelengkan kepala, heran dengan jalan pikir seorang Januar. "Gue kira, lo cuma ngga niat sekolah. Ternyata, ngga niat kuliah juga, ya?"
Janu menendang kaki Kamal lalu bangun dari duduknya. "Tai. Jam tambahan nanti gue pindah tempat, dah. Mulut lo ngga ada akhlak banget," ucap cowok itu sambil membawa tasnya.
Kamal justru tertawa setelah mengerang kecil. Tangannya menarik jaket Janu supaya cowok itu kembali duduk. "Bercanda, nge. Abisan lo aneh. Orang-orang pengen dapet SNM, lo yang udah dapet malah dibuang."
"Biarin, gue ini yang aneh. Lagian–"
"HOT NEWSSS!"
Teriakan Hani dan beberapa anak perempuan kelas yang tiba-tiba berbondong-bondong masuk memotong perkataan Janu. Mereka berdiri di depan papan tulis sambil mengetuk benda tersebut dengan spidol, meminta atensi dari seluruh anak kelas.
"Minggu depan TO!"
"Hoaks, ngga?" teriak salah satu dari anak di pojokan kelas.
"Kaga! Ini beneran, valid!"
Pekikan kaget terdengar dari penghuni kelas lainnya. Beberapa ada yang mengerang kesal, sisanya mulai mengerubungi Hani dan kawanannya di bagian depan kelas, meminta penjelasan lebih.
Janu dan Kamal saling berpandangan sesaat. "Bukannya masih dua minggu lagi?"
Kamal mengangguk. "Harusnya begitu."
Janu berdecak. "Pake cara lama kayak pas UTS kemarin."
"Maksudnya?"
"Jadwal dimajuin buat ngalihin isu."
———————-
"Jan, lo beneran nyabut SNM?"
Janu memejamkan mata di depan ruang tamu rumah Wanda. Ini sudah pertanyaan kesekian yang dilontarkan orang kepadanya terkait keputusan cowok itu. Dia hampir lupa kalau gosip di sekolah mereka memang menyebar terlalu cepat. Buktinya, Jani yang beda angkatan saja sudah tau hal ini.
"Dih, ditanya malah merem."
Janu membuka kedua matanya dan berjalan mendekat ke sofa. "Gue baru nyampe. Ini jaket juga belom dilepas. Lo udah langsung nanya aja."
Cewek yang menyadari suasana hati Janu dari respon cowok itu lantas menampilkan cengiran meminta maaf. "Hehe, maaf, brou. Penasaran saja. Peace," ujar Jani dengan jari telunjuk dan tengah yang membentuk angka dua.
"Bang, lo ngambil flashdisk gue ga?"
Setelah melepas jaket dan membuka satu persatu kancing seragamnya, Janu merogoh saku depan celananya. Ia mengeluarkan sebuah flashdisk berwarna hitam dan melemparkannya ke Dion yang ada di seberang meja. Beruntung cowok berpipi gembil itu bisa menangkapnya dengan gesit.
"Thank you, Bang," ujar Dion sebelum menengok ke arah Hardan. "Elo, sih. Pake lupa ngambil segala. Untung masih ada."
Hardan, yang tadi siang berperan sebagai eksekutor di balik pembelaan mereka, lupa mengambil kembali flashdisk milik Dion. Cowok itu meninggalkan salah satu barang kesayangan Dion masih menancap di komputer Ruang Broadcast hingga diambil oleh Janu sore harinya. Beruntung ngga ketahuan oleh orang lain karena kunci ruangan itu emang diumpetin sama Janu sendiri.
"Ya maaf. Namanya juga lupa," cicit cowok itu pelan.
"Tadi Wanda denger dari Jihan, katanya anak OSIS disuruh bantu nyari pelaku yang ngeberantakin Ruang Guru."
Wanda yang sedari tadi diam karena masih harus berkutat dengan tugas Fisika, tiba-tiba bersuara. Seluruh mata langsung tertuju pada cewek yang duduk di tengah sofa panjang itu. Termasuk Janu yang memberi tatapan tak biasa.
"Jihan itu ... temen kelas Wanda, anak OSIS," ucap cewek kelahiran 2004 dengan pelan. Pasalnya, mereka semua hanya memandang tanpa memberi respon suara.
"Ya gue tau dia temen lo. Cuma otak gue lagi memproses informasi ini soalnya makin aneh aja. Pake segala minta anak OSIS bantuin mereka?" Jani menggelengkan kepala di akhir kalimatnya, tak habis pikir.
"Sebenernya masuk akal. Soalnya guru yakin pelakunya itu murid. Makanya nyuruh murid juga buat ikutan bantu cari," ujar Hardan mengusap dagunya.
Wanda mengangguk membenarkan. "Iya, kata Jihan begitu. Kalo ada gosip di murid, disuruh kasih tau ke guru juga."
"Hadeh, emang ngga cukup apa, curhatan murid dijadiin bahan gosip di Ruang Guru?" sahut Jani sewot. Udah jadi rahasia umum kalo ada beberapa oknum guru yang suka menggosipkan permasalahan muridnya sendiri. Jani udah pengalaman soalnya.
"Wow, guru juga hobi bergosip, ya," ungkap Dion takjub.
"Guru juga manusia," celetuk Janu. "Kabar gue nyabut SNM aja langsung nyebar ke semua guru. Padahal gue cuma ngasih tau wali kelas doang tadi pagi."
"Eh, lo beneran?" tanya Jani begitu menyadari mood cowok itu yang telah berubah. Janu mengangguk pelan.
"Kenapa emang, Bang?" Giliran Dion yang bertanya. Dia yakin si Abang Kelas udah punya pertimbangan sendiri sampai bisa buat keputusan yang bikin semua orang kaget.
Janu mengangkat kedua bahunya. "Yah, gua ngerasa gak pantes aja. Masih banyak murid lain yang lebih berhak dan layak buat kesempatan SNM dibanding gue yang tiga tahun ngga niat sekolah."
Terdengar suara tepuk tangan yang berasal dari Jani. "Definisi tau diri, ya."
"Sialan," umpat Janu namun dengan bibir yang membentuk senyuman. Dalam hati ia ikut membenarkan perkataan cewek itu.
"Angga gimana, Jan?" tanya Hardan sambil mengeluarkan alat tulis Wanda satu persatu dari dalam kotaknya. Padahal udah diprotes sama Wanda, tapi tetep aja dilakuin cowok itu. Iseng, katanya.
"Gue belum ketemu sama sekali sama dia. Awal semester enam makin jarang jam kosong. Berasa bakal gila, belajar mulu," ungkap Janu sambil mengacak rambutnya sendiri. "Mana Try Out pake segala dimajuin," lanjutnya kemudian.
"Mainnya gitu, ya. Ada masalah yang lagi rame, malah ditutupin pake berita dadakan," ujar Hardan yang mulai paham taktik sekolah.
"Berarti minggu depan kita masuk siang, gitu?" tanya Dion.
"Lah, iya. Asik, dong." Jani berucap sambil menggoyangkan tubuhnya senang. Ia lalu menengok ke Wanda. "Wan, gue nginep di sini, ya?"
Wanda mengangguk dengan fokus tetap pada buku tulis. "Boleh, Kak. Seminggu juga ngga apa-apa."
"Lo ngga mau ngapain gitu, Jan?" tanya Hardan yang dihadiahi kerutan bingung dari dahi Janu.
"TO dimajuin begitu, lo ngga mau berbuat sesuatu?" ulang yang lebih muda.
"Ngerusuh di hari pertama kayak pas UTS kemarin maksud dia, Bang," ujar Dion membantu Janu mengerti perkataan Hardan.
"Ooh," ucap Janu sambil mengangguk begitu paham. "Hmm, enaknya gimana? Lo pada kan masuk siang, tuh. Berarti gue sendiri, kan."
"Lo TO pake kertas apa komputer?" tanya Jani, spesialis hal-hal iseng kayak gini.
"Komputer."
"Berantakin dikit aja sistemnya. Lo bisa kan, Yon?" usul Jani.
Dion tampak berpikir. "Bisa aja, sih. Masih minggu depan, kan, Bang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rebels ✓
Teen Fiction"It's not rebels that make trouble, but trouble that makes rebels." Kpop lokal ft. Jisung, Yujin, Haruto, Dohyon, Wonyoung contains harsh words