Enjoy Reading! Terima kasih udah nunggu!———————
Keesokan harinya, Janu menemui Pak Marsudi di ruangan beliau setelah pulang sekolah. Tanpa perjanjian terlebih dahulu, cowok jangkung itu langsung mengetuk pintu Ruang BK. Beruntung Pak Marsudi bukan tipe guru yang suka pulang sebelum jamnya sehingga ia masih bisa bertemu beliau.
"Ada apa, Nu?" tanya Pak Marsudi sambil berjalan menuju bilik depan ruangan.
Janu lantas masuk dan tanpa menunggu dipersilakan, duduk di atas sofa. "Duduk, Pak."
Pak Marsudi tertawa kecil. Seharusnya beliau yang mengucapkan. "Tentang Angga, nanti dia bi–"
"Bukan, Pak," ucap Janu cepat memotong kalimat beliau. "Bukan Angga."
Mata si Remaja menatap netra Pak Marsudi dengan lekat. Begitu beliau duduk di sofa di hadapannya, baru Januar kembali mengeluarkan suara.
"Sebenernya ini udah mengganjal dari awal, Pak. Saya mau tanya, kok bapak bisa tau tentang saya sama temen-temen saya?"
Pak Marsudi menyunggingkan senyuman. Tapi Janu yakin ada makna tersendiri di dalamnya. "Kamu lupa saya lulusan Psikologi? Saya jadi Guru BK bukan baru setahun dua tahun, Nu."
"Dari sekian banyak murid di angkatanmu, cuma kamu yang punya gelagat aneh di tahun terakhir. Emang keliatan wajar kalo anak kelas dua belas mulai menghindari kumpul-kumpul ngga jelas, nilainya pelan-pelan membaik atau tiba-tiba solatnya di shaf terdepan."
"Tapi, yang paling aneh itu nilai kamu naik terlalu pesat. Saya inget kamu dari ranking ketiga dari bawah di kelas, sampai tiba-tiba masuk sepuluh besar ranking jurusan. Guru-guru mikirnya 'Oh, Januar udah mulai belajar dengan rajin.' tapi engga dengan saya."
"Buat dapetin lonjakan nilai sejauh itu pasti butuh waktu dan usaha. Tapi kamu masih kelihatan santai kalo di kelas, Nu. Kamu masih diem-diem makan kacang pas pelajaran, titip absen saat jam tambahan bahkan kepergok telat waktu itu, kan?"
Januar pelan-pelan mengangguk. Pikirannya berusaha mengingat semua yang diucapkan Pak Marsudi. Ah, ternyata apa yang selama ini ia pikir sudah mulus, masih bisa terbaca juga oleh orang lain. Ia lupa memperkirakan seberapa jauh nilainya akan naik.
"Ditambah, yang bikin saya makin curiga, waktu UTS semester ganjil. Kamu inget saya yang jadi pengawas kelas kamu di hari pertama?"
Lagi-lagi Janu mengangguk. Ia ingat saat Rebels berusaha 'menegur' dengan mengacau di hari pertama UTS karena sekolah menggunakan taktik jadwal dadakan demi mengalihkan perhatian murid kala itu. Ketika kasus Fanny yang diancam oleh guru tengah menjadi perbincangan hangat.
"Kamu izin ke toilet, lalu gak lama kemudian alarm kebakaran bunyi. Saya masih inget alarm yang bunyi itu asalnya dari yang ada di tangga menuju lantai paling atas. Karena ketika saya patroli setelah itu, cuma alarm yang ada di sana yang udah gak kesegel."
"Itu alarm manual, Nu. Harus ditekan supaya bisa berbunyi. Saya yakin kamu pelakunya, kan?"
Menelan ludah, Janu berusaha mengontrol ekspresinya. Walaupun sudah ketahuan, tatapan mata Pak Marsudi mampu membuat remaja itu sedikit ciut.
Pelan-pelan Janu mengangguk. "Iya, saya orangnya, Pak."
Tersenyum, Pak Marsudi lantas kembali bertanya. "Itu maksudnya sebagai bentuk protes kalian karena jadwalnya dimajukan, ya?"
"Bapak cenayang, ya?" tanya Januar balik.
Gelak tawa terdengar dari mulut si Guru BK. Wajah murid di hadapannya menampilkan ekspresi yang lucu. Perpaduan antara takut dan berusaha tenang namun tetap ingin terlihat tidak gentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rebels ✓
Подростковая литература"It's not rebels that make trouble, but trouble that makes rebels." Kpop lokal ft. Jisung, Yujin, Haruto, Dohyon, Wonyoung contains harsh words