42. Rumah

732 191 33
                                    


Enjoy Reading!
Kalo belum baca chapter 41, ada di chapter sebelum ini, ya.

———————-

Setelah Janu mengeluarkan apa yang menjadi beban pikirannya kepada empat juniornya, mereka membubarkan diri tak lama kemudian. Janu memberi tumpangan pada Jani dan mengantar cewek itu sampai ke rumah sementara Dion yang menebeng pada Hardan.

Di perjalanan, tidak seperti biasanya, Jani tampak diam. Kalau dalam kondisi normal, Jani akan iseng menepuk bagian belakang helm Janu atau memukul pelan punggung cowok itu. Namun kali ini, cewek itu belum bersuara bahkan sejak naik ke boncengan motor Janu.

"Kok lo diem, Jan?" tanya Janu setelah memelankan kecepatan motornya.

Butuh waktu beberapa saat untuk Janu dapat mendengar balasan dari Jani. "Gue masih kepikiran," ucap cewek itu.

Janu menghela napas dan meminggirkan motornya di tepi jalan. "Kok berenti?" tanya Jani.

Sambil turun dari motor, Janu berujar, "Jangan kepikiran."

"Lo ngga usah mikirin itu. Gue aja, biar gue yang tanggung jawab. Gue yang mulai, gue juga yang ngeakhirin," lanjutnya kemudian.

Jani, yang masih duduk di atas motor mengenakan seragam hari ini, langsung memasang wajah sendu. "Lo udah agit, ngga usah sok mau jadi pahlawan gitu. Kita ngelakuinnya bareng-bareng, ngeakhirinnya bareng-bareng juga. Kalo bisa malah ngga usah berakhir, deh."

Janu memasang senyum paling manis. Tangan kanannya bergerak merapikan helai rambut yang menutupi jidat Jani. "Semua yang dimulai pasti bakal diakhiri, Anjani. Kayak hubungan lo sama Kahfi, contohnya," ucap cowok itu dengan nada meledek di akhir kalimat.

"Anjing, ya, lo," umpat Jani sambil memukul lengan Janu pelan. Nah, kalo udah ngomong kasar apalagi sampe mukul gini berarti udah balik normal, menurut Janu.

"Mau makan dulu, gak? Di angkringan, gitu?"

"Boleh."

Malam Jani kali ini berakhir dengan makan bersama Janu di angkringan pinggir jalan. Setelah menghabiskan setengah jam dengan mengisi perut dan berbincang-bincang, mereka kembali menuju tujuan utama; rumah Jani.

Lalu di sepanjang jalan selepas dari angkringan, kedua tangan Jani melingkar di perut Janu. Cewek itu menyandarkan kepalanya di pundak lebar kakak kelasnya. Mungkin maksudnya untuk melepas lelah, namun Janu malah merasa seperti diberi semangat melalui hangatnya dekapan Jani.

————————-

Kalau malam Jani berakhir dengan makan di angkringan, hal itu tidak berlaku bagi Janu. Karena ketika baru keluar dari komplek perumahan Jani, ponsel Janu berbunyi. Hardan menelepon dan memintanya untuk bertemu saat itu juga.

Di sinilah Janu sekarang, bersama Hardan dan Dion di hadapannya, duduk di sebuah warkop yang sepi. Janu yakin betul ini masih berada kawasan rumah Dion, atau setidaknya, tidak jauh dari rumah cowok itu.

"Kenapa?" tanya Janu singkat.

Hardan mendengus. "Ngga mau pesen makan dulu? Lo ga laper abis sehari–"

"Bacot banget. Gece, anjing," tukas Janu kesal. Sungguh berbeda dengan ketika bersama Jani beberapa menit lalu.

"Bentar, Bang," interupsi Dion. "Gue yang laper. Mau sekalian pesen apaan lo berdua?"

"Gue teh tarik anget sama roti bakar coklat. Ngga tau kalo pengecut satu ini apa maunya." Hardan memang menjawab pertanyaan Dion, namun cowok itu justru menatap Janu dengan tatapan sinis. Apalagi ditambah dengan nada mengejek di akhir kalimatnya.

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang