15. Kirim?

843 221 7
                                    

Thanks buat 1k viewsnya! Enjoy reading!

————————

"Sorry, guys. Tadi Kahfi nyamper bentar," ucap Jani sambil berjalan masuk ke dalam ruang tengah rumah Wanda. Di belakangnya ada Hardan yang menenteng segelas teh tarik.

"Lama amat," cibir Janu yang sedang selonjoran di sofa panjang. Di sofa single kanan dan kirinya ada Wanda dan Dion yang sedang melakukan kegiatan masing-masing. Wanda dengan tugasnya dan Dion dengan laptopnya.

"Limi imit," tiru Jani meledek. "Diinterogasi dulu gue tadi," lanjutnya kemudian.

Mendengar hal itu, Janu langsung mengubah posisi menjadi duduk tegak. "Kenapa lagi lo?"

"Nanyain Mahen. Sekarang kita ngapain?" Jani berucap sambil duduk di sofa panjang, diikuti Hardan yang duduk di antara Janu dan Jani.

"Wanda kalo mau fokus belajar, bilang, ya. Takutnya kita ganggu. Minggu depan udah UTS, kan," ucap Janu pelan. Dia paham gimana gilanya tuntutan kedua orang tua cewek itu di bidang akademik.

Wanda spontan menggeleng. "Ngga apa-apa, Kak Janu," jawabnya sambil menutup buku tulis di hadapannya. Kan mulai sekarang dia mau jadi anak yang rebel dikit. Ngga mau jadi pemuas ego kedua orang tua lagi.

Janu lalu berdehem pelan, meminta atensi dari keempat adik kelasnya. "Mass email-nya mau dikirim?"

Terdengar suara seruputan terakhir dari sedotan teh tarik Hardan. "Gue takut itu jadi boomerang buat kita, Jan," gumam cowok itu setelahnya.

"Boomerang gimana?" tanya Jani meminta penjelasan ke cowok yang duduk di sebelahnya.

Hardan meletakkan gelas plastik yang sudah kosong itu ke atas meja di hadapannya. "UU ITE. Gue takutnya malah kena pasal karet. Gue masih mau belajar di sekolah, bukan di penjara."

Janu spontan menoyor kepala Hardan. "Gue sama yang lain juga gitu, bahlul. Siapa juga yang mau masuk penjara? Kan kita nyebarinnya anonim."

"Kalo dilacak?" Giliran Wanda yang bertanya dengan raut khawatir.

"Ngga bakal," gumam Dion pelan. Tapi semua yang ada di ruangan itu tau kalau dia juga menyimpan rasa ragu.

"Tapi jujur aja, Bang. Gue beban banget ini nyimpen video begitu di laptop gue. Aib orang," aku cowok itu selanjutnya.

Janu mengangguk mengerti perasaan Dion. Menyimpan video syur antara guru dan kakak kelas memang bisa menjadi beban tersendiri. "Nggak lu buka, kan?" tanya Janu.

"Sumpah, nggak, Bang. Seiseng-isengnya gue, ngga bakal," ucap Dion dengan muka meyakinkan. Kedua jari telunjuk dan tengah tangan kanannya membentuk huruf V.

"Wanda jadi kasihan sama Kak Fanny. Bukannya kalo disebar malah makin meluas, ya?" tanya satu-satunya utas perempuan itu akhirnya.

Janu langsung menggeleng. "Disebarnya kan ngga ke umum. Cuma ke guru aja. Gue juga masih waras, kali."

"Tapi gue sepemikiran sama Wanda, deh, Jan. Kalo malah balik nyerang ke Fanny, gimana?" Jani berucap dengan kedua alis yang bertautan.

Janu terlihat berpikir sebentar. "Harusnya, sih, ngga, ya. Kan udah jelas gurunya ngasih ancaman. Jadi posisinya ya pasti dipaksa, kan?"

"Jan, lo udah siap jadi buron?" tanya Hardan tiba-tiba ke kakak kelas di sebelah kanannya.

"Ajaran darimana sih, lo?! Heran gue," jawab Janu sambil, sekali lagi, menoyor kepala Hardan.

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang