20. Debat Caketos

818 204 12
                                    



Enjoy Reading!



Janu memarkirkan sepeda motornya dengan terburu-buru. Tadi pagi ia baru bangun pukul tujuh pagi saat Bang Rendra, salah satu tetangga kosnya, menggedor pintu kamarnya untuk meminjam toilet karena air di kamar anak kuliahan itu mati. Saat itulah Janu baru sadar kalau ia sudah bangun kesiangan.

Cowok itu melepas helm, sedikit berkaca di spion motor lalu merapikan rambutnya. Ia lantas melihat jam di tangannya. "Mampus," umpatnya kecil. Sekarang sudah pukul delapan lewat tiga puluh menit.

"Kalo lewat depan, pasti udah ditutup. Yang ada malah ketauan. Taman samping? OSIS mungkin patroli. Hmm, lewat mana kita?" Janu bermonolog sambil mengerutkan dahi berpikir. Hanya ada dirinya dan jejeran motor di parkiran murid saat ini.

Tangannya memutar-mutar gantungan kunci motor layaknya mainan. Mulutnya sesekali menggumam menjawab pertanyaan yang ada di kepalanya sendiri. Tubuhnya masih duduk di atas motor sport-nya, belum beranjak sama sekali.

Letak parkiran murid memang ada di dalam area sekolah, di sebelah kanan setelah memasuki gerbang utama. Tapi tetap terpisah dari area bangunan sekolah yang dikelilingi oleh tembok lagi. Makanya kalau kabur lewat samping atau depan itu susah, tembok yang harus dilompatin ada banyak. Mending lewat belakang.

"Tembok belakang aman kali, ya?" monolog Janu setelah memikirkan cara bagaimana ia masuk.

Ia lalu berdiri dari motor dan mulai berjalan menuju pintu keluar parkiran motor yang ada di sisi samping. Pintu itu ada karena tiap jam masuk dan jam pulang sekolah, gerbang utama pasti macet total. Setelah itu ia berlari kecil menuju bagian belakang sekolah.

Di hadapannya kini ada tembok legend bagi murid yang sering bolos atau cabut seperti dia. Hanya butuh sekali panjatan dan lompatan, lalu sudah bisa keluar dari atau masuk ke sekolah. Memang tinggi, tapi hasrat ingin cabut dan datang telat jauh lebih tinggi.

Mata Januar melihat ke sekelilingnya. Biasanya suka ada tangga yang disimpan khusus oleh anak Mafias. Fasilitas kalo ada yang mau dateng siang atau nyelundup masuk ke sekolah. Di sini ngga ada pohon besar sama sekali, makanya harus pake tangga. Kalau dari dalam mau ke luar sekolah, bisa manjat ke tempat sampah beton yang menempel di dinding belakang.

Setelah tangganya ketemu, Janu lalu memanjat pelan. Saat sudah berada di puncak tembok, matanya melihat keadaan sekitar bagian belakang gedung yang jarang dipakai tersebut. Bagus, tidak ada tanda-tanda aktivitas orang di sana.

Dalam sekali lompatan, ia sudah mendarat di halaman belakang sekolah. Tanpa perlu menulis nama di buku pelanggaran atau kena omel guru yang berjaga. Masih dalam keadaan berlutut selepas mendarat, Ia membersihkan telapak tangan yang kotor.

"Ekhem." Terdengar sebuah suara yang asalnya dari depan Janu. Tunggu, bukannya dia sedang sendiri saat ini?

Mata Janu lalu bergerak ke depan. Di hadapannya sudah ada sepasang sepatu pantofel hitam. Ia lalu menelusuri ke atas siapa pemiliknya-

"Eh, Pak," sapa Janu dengan cengiran antipanik.

Ada Pak Marsudi, guru yang saat ini paling cowok itu hindari. Gimana nggak? Dari jaman dia masih utas, Pak Marsudi jadi salah satu penyebab dia langganan keluar masuk ruang BK atau nulis nama di buku pelanggaran. Ada aja pemicunya. Dateng telat, cabut pelajaran sampe ketauan ngerokok juga pernah.

"Ngapain, Nu?" tanya pria berusia akhir 40 tersebut. Beliau sudah hafal di luar kepala siapa saja para senior yang masih sering melanggar peraturan di penghujung tahun pendidikan mereka. Salah satunya ya Januar Putra ini.

"Cari cacing, pak," jawab cowok itu asal. Percuma mengelak, karena Pak Marsudi pasti sudah tau alasan kenapa ia bisa ada di sini. Apalagi dengan tas yang masih ada di punggung. Biasanya dia akan menaruh tas di motor dan meminta tolong Kamal untuk mengambil nantinya. Tapi sialnya, teman semejanya itu tidak masuk hari ini.

The Rebels ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang