17. Rencana Hidup Baru (2)

495 88 3
                                    

Setengah terpaksa, setengah lagi dipaksakan. Sejak Juan pergi setelah mengantar ke perpustakaan, Eisa duduk di salah satu kursi dan pura-pura membaca buku. Padahal awalnya Eisa berniat langsung kabur setelah Juan mengantarnya masuk ke perpustakaan. Namun, kenyataannya? Ibu hamil itu hanya bisa membolak-balikan lembaran buku, apalagi ketika salah satu petugas mengawasinya dengan senyuman lebar.

"Aku tak tahu, jika pria yang bertugas di sini merupakan kenalan Juan. Jika aku kabur dari sini, pria itu pasti mengadukanku pada suamiku," tebak Eisa, tanpa berhenti membuka lembaran buku baru.

Jemari Eisa sibuk menggerakan lembar kertas, tetapi mata Eisa sendiri fokus menatap ke jendela. Tepat di sana, dia melihat dua ekor burung yang terbang bebas turun atau pun naik ke atas langit. Hanya dengan memperhatikan kedua sayapnya yang mengepak saja, Eisa bisa membayangkan masa lalunya ketika dia bebas menjalankan misi sesuka hatinya.

"Aku merindukan Ayah dan juga Kak Malvin. Tapi mereka sama sekali tak mencariku. Sepertinya aku memang tak bisa menjadi bagian keluarga mereka lagi," gumam Eisa.

Baru saja Eisa menyerah untuk bertemu dengan Malvin. Namun, matanya tiba-tiba tertuju pada jendela lagi. Tepat di luar jendela, terdapat langit berwarna biru cerah, dengan segumpalan awan putih yang bergerak tertiup angin. "Pagi hari, pukul sembilan. Jika tidak ada kerjaan, Kak Malvin biasanya menghabiskan waktunya di kafe dekat perpustakaan ini."

Eisa menggunakan otaknya untuk berpikir. Tak butuh waktu lama, baginya untuk pergi ke petugas dan memberitahu, "Aku... aku akan pergi ke kamar mandi sebentar. Tolong... jaga tasku yang kutaruh di tempat penyimpanan."

Izin diberikan, dan Eisa sengaja meninggalkan tasnya sebagai jaminan bahwa dia akan kembali ke perpustakaan. Setelah itu, dia langsung berjalan cepat menuruni anak tangga, sampai langkahnya menuntun tubuhnya ke depan sebuah bangunan bernuasa retro.

Hanya dalam hitungan detik saja, Eisa menemukan seorang pria tenggi yang sedang mengisap batang bernikotin. Eisa memanggil, "Kak Malvin!"

Begitu panggilan itu masuk ke telinga Malvin, Malvin langsung melirik ke arah luar kafe. Pria itu mengembuskan asap berwarna abu, sebelum berdecak dan menekan ujung batang bernikotin itu ke tempat pembuangannya. Setelah memastikan tak ada asap yang muncul, Malvin langsung berdiri dan menghampiri Eisa tanpa diminta.

Kehadiran Malvin di depan mata, dibalas dengan pelukan Eisa. Dia tak bisa menahan rasa rindu sekaligus sesak, ketika berhasil bertemu dengan pria yang selama ini pergi menjalankan misi dari sang ayah. Namun, pelukan Eisa tak berlangsung lama, karena Malvin melepasnya, dan sedikit mendorong tubuh Eisa untuk menjauh darinya. "Lebih baik ibu hamil sepertimu tidak berdekatan denganku," peringat Malvin.

Eisa menyentuh perutrnya sendiri, lalu bertanya, "Apa... Kakak juga marah padaku? Karena aku... aku... aku mengandung saat sedang menjalankan misi? Kenapa kakak tidak pernah membalas telepon dariku? Aku tak bisa berpikir jernih, ketika ayah memutuskan hubungan denganku, sekaligus tak memperbolehkanku bertemu denganmu lagi."

Eisa berbicara panjang lebar tentang derita hidup yang dia alami. Namun, berbeda dari biasanya. Malvin malah menarik sudut bibirnya ke atas, dan memberikan tatapan merendahkan ke arah Eisa. "Lalu sekarang apa yang kau harapkan dariku? Kau berpikir, jika aku akan membantu orang yang bahkan bukan adik kandungku sendiri? Memangnya aku sebaik itu?" tanya Malvin.

Suara, sorot mata, dan juga sikap Malvin sudah berubah. Tangan yang biasanya mendekap sang adik ke pelukannya, kini malah mendorong tubuh Eisa begitu saja. Suara rendah yang biasanya memanggil lembut Eisa, berubah menjadi kasar dan tinggi. Lalu mata penuh kasih sayang, sudah lenyap digantikan dengan tatapan merendahkan.

Eisa menggelengkan kepala. Bukan. Orang di depannya bukanlah Malvin, sang kakak yang menyayangi adiknya sepenuhnya. Orang di depannya bukanlah pria yang melakukan segala cara, agar Eisa aman ketika melakukan misi. Orang di depannya juga bukanlah orang yang mempertaruhkan nyawanya hanya untuk melihat Eisa menarik napas, dan tertawa bersama sang ayah.

"Kak Malvin? Kakak juga termakan dengan surat itu? Kakak tak menganggapku adik lagi?" tanya Eisa tak percaya.

Malvin tersenyum kecut, kemudian melangkah ke depan Eisa. Dia menjawab, tanpa mengubah sorot matanya. "Ya. Kau bukan adikku, jadi berhenti menemuiku dan enyahlah dari hadapanku."

Eisa tak menyerah, walaupun Malvin memberinya tatapan tak bersahabat. Wanita itu menggenggam erat tangan Malvin, sembari memberitahu, "Jangan tinggalkan aku seperti Ayah. Aku tahu, meskipun ayah keras mendidikku, tapi Kakak selalu berada di pihakku. Tolong, jangan tinggalkan aku. Apa kakak tak memiliki tempat untukku di rumah lagi?"

Malvin tiba-tiba tertawa, dan menghempaskan tangan Eisa pada tangannya. Setelah itu, dia menarik sudut bibirnya ke atas, dan menunjuk. "Kau pergi dari rumah, adalah sebuah kesenangan bagiku. Aku bahagia kau pergi dari rumah! Kau tahu itu?"

Eisa mengernyitkan kening, dan Malvin menjawab, "Aku membenci seorang adik yang hanya bisa menyusahkanku saja. Aku bosan melindungimu, apalagi melihat ayah terlalu bersikap lembut padamu... hanya karena kau seorang wanita."

"Dia memperlakukanmu layaknya putri raja, meskipun kau bukan anaknya sendiri. Parahnya lagi, dia sempat menuliskan surat warisannya untukmu! Tapi sekarang? Setelah kau pergi dari rumah, warisan itu sepenuhnya akan menjadi milikku!"

"Jadi, jangan harap aku akan menolongmu! Jangankan menolong, aku bahkan mempunyai banyak rencana untuk menendangmu dari rumah, jika kau masih tak tahu malu mengemis tempat tinggal di mansion Ayah!"

"Kau hanya anak selingkuhan, ingat tempatmu baik-baik," bisik Malvin.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAMAFIA  [Junhao] RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang