18. Malaikat Kecil (1)

579 106 9
                                    

Malvin tak menyukai keberadaan Eisa. Malvin tak senang dengan cita-cita Eisa untuk menggantikan posisi sang ayah. Malvin menganggap Eisa sebagai saingannya. Lalu sekarang? Pria itu senang, karena Eisa sudah angkat kaki dari mansion besar sang ayah.

Kebencian Malvin terbongkar, dan Eisa kembali merutuki takdir hidupnya. Wanita hamil itu berbalik, dan berjalan tanpa arah tujuan yang jelas. Apalagi setelah mendengar peringatan-peringatan yang dibuat Malvin, untuk tidak ikut campur pada kehidupan sang ayah tanpa dirinya.

Semakin lama Eisa berjalan, semakin langkahnya terasa berat. Wanita itu menarik dan mengeluarkan napas panjang, sembari mengurut keningnya sendiri. Selama ini, Eisa tak pernah merasakan tekanan hidup yang seberat ini.

Padahal, nyawanya dulu berulang kali terancam, tetapi dia masih mempunyai tujuan dan semangat untuk hidup. Lalu sekarang? Setelah nyawanya aman, Eisa malah kehilangan tujuan hidupnya. Bahkan satu persatu bisikan untuk mencabut nyawanya sendiri mulai terngiang-ngiang di telinga Eisa.

"M*ti," gumam Eisa.

Langit yang cerah, tanpa awan berwarna putih, menjadi saksi bisu ketika Eisa melangkahkan kakinya menuju sebuah jembatan. Jari jemarinya menyentuh besi-besi tinggi yang membentang untuk menyambungkan dua wilayah terbelah karena aliran di bawahnya. Eisa tak berminat untuk menatap ke bawahnya, tetapi kakinya sendiri melangkah untuk meloncat ke sungai di bawahnya.

Pikiran Eisa kosong. Tinggal satu langkah lagi, menuju pembatas. Namun, lamunan Eisa langsung buyar, ketika mendengar suara langkah kaki pria yang terburu-buru menggendong anak perempuan dengan tangisan kencang. Pria itu berlari ke arah Eisa, sementara anak yang ada dalam gendongannya menangis sembari memukul-mukul orang yang menggendongnya.

Tak lama, setelah pria itu berlari semakin dekat pada Eisa. Terdengar suara teriakan seorang wanita yang ikut berlari mengejar keduanya. Wanita itu berteriak histeris, "Tolong! Tolong! Tolong selamatkan putriku! Pria itu mencoba mengambilnya dariku! Dia penculik!"

Eisa memperhatikan orang yang sedang berlari ke arahnya. Setelah mengetahui anak yang menangis digendongannya adalah korban penculikan, Eisa langsung menjulurkan kakinya ke depan untuk menghentikan lari si penculik. Setelahnya, dia sengaja menarik anak dalam gendongan pria itu, agar bersembunyi di balik punggungnya. Sebelum akhirnya Eisa mendorong si penculik, untuk semakin cepat terjatuh ke ambang pembatas jembatan.

"Kau penculik kurang berpengalaman, harusnya... jika ingin melarikan diri, cari jalan yang lebih sepi," jelas Eisa dengan kening mengernyit.

Si Penculik memelototkan mata, melihat pembatas jembatan ada di depan mata. Dia meneguk ludahnya sendiri, ketika matanya menemukan sungai dengan kedalaman yang tak bisa dia tebak. Sementara itu, punggungnya tiba-tiba merasakan sebelah sepatu yang menginjaknya supaya tidak kabur.

"S*alan!" Pria itu berniat menangkap kaki Eisa yang sudah berani menginjak punggungnya. Namun, Eisa sudah lebih dulu melepas kakinya, sampai tubuh si penculik bergerak dan kepalanya menyembul melewati pembatas.

"Harusnya kau bersyukur, karena aku sudah menahan tubuhmu. Jika tidak kuinjak, mungkin saja kau sudah melewati pembatas dan jatuh sedalam-dalamnya," bisik Eisa.

Eisa menahan sang penculik, sampai orang-orang yang mengejarnya langsung menangkap pria itu. Dia dibawa beramai-ramai pergi ke kantor polisi. Sementara Eisa sendiri, sibuk mengusap-usap sepatunya tanpa mempedulikan anak yang menangis di depannya.

Ibu sang anak langsung memeluk anaknya sekuat tenaga. Begitu pula dengan ayahnya yang tak henti-hentinya mengucap kata terima kasih kepada Eisa. Mereka berdua, merasa senang setelah putri keduanya berhasil diselamatkan. Sementara Eisa sendiri, hanya membalas, "Tidak perlu berterima kasih. Suara anak kalian mengganggu telingaku, jadi segera hentikan tangisannya."

Ibu anak itu mengangguk, dengan senyuman tipis. Sementara ayahnya tiba-tiba berkata, "Bagaimana kami tidak berterima kasih, jika Anda sudah menolong satu-satunya putri kami yang berharga. Kami mendapatkannya setelah bertahun-tahun melakukan program kehamilan. Saya tak tahu, apa jadinya jika anak kami diculik oleh orang tak bertanggung jawab seperti tadi."

Setelah mengusap sepatunya, Eisa menjatuhkan benda itu di tanah lalu kembali memakainya. Dia menyilangkan tangan di depan dada, lalu memperingati, "Kalian mendapatkannya dengan susah payah, tapi kalian tak menjaganya dengan benar. Lain kali, perhatian anak kalian dengan baik, jangan tinggalkan dia sendirian. Penculik anak senang beraksi ketika anak sedang sendirian."

Kedua orang di hadapan Eisa langsung mengangguk, tanpa banyak berdebat. Mata keduanya berkaca-kaca, dengan air mata berlinang ke pipi. Namun, anehnya sudut keduanya terangkat ke atas, menunjukkan sebuah tangisan kebahagiaan yang mengingatkan Eisa pada bayi dalam kandungannya.

Beberapa detik lalu, Eisa ingin pergi dari dunia ini. Dia tidak ingat, jika ada kehidupan baru yang akan lahir beberapa bulan ke depan. Jika Eisa pergi dari dunia ini, sudah pasti anaknya tak akan pernah merasakan oksigen di muka bumi ini. Semua rasa kehampaan di hati Eisa terlalu banyak, sampai Eisa tak memikirkan anaknya sendiri.

Hanya dengan melihat keluarga kecil penuh kasih di depannya, muncul keinginan Eisa untuk bisa melihat anaknya tumbuh tinggi dan menjadi teman, untuk melewati kehidupannya yang tak berarti. "Banyak orang yang bersusah payah melakukan berbagai cara untuk mendapatkan anak. Sementara aku? Aku malah menyia-nyiakan kesempatan ini. Seharusnya aku mengingat bayi ini, begitu pula dengan Juan yang begitu mendambanya."

"Maafkan Ibu, bayi kecil," gumam Eisa sembari mengusap perutnya sendiri.

•••

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MAMAFIA  [Junhao] RepublishTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang