Setelah Vio sadarkan diri, para pengawal ikut menangkap tubuh Vio untuk ditempatkan bersama kedua orang tuanya. Awalnya Vio meracau, dan mengatakan jika Eisa menjatuhkan reruntuhan gedung tua pada para penculik. Namun, karena kondisinya yang tengah dilanda kepanikan, tak ada seorang pun yang percaya. Mereka membawa Vio begitu saja, tanpa mendengarkan ucapan Vio.
Sementara itu, ibu dan ayah Juan bertanya-tanya tentang orang yang sudah merencanakan pemb*nuhan pada keluarga Vio. Padahal, ayah Juan baru akan bergerak. Namun, dia kalah cepat, hingga akhirnya pertanyaan-pertanyaan muncul di kepala.
"Apa Juan benar-benar yang melakukan hal seperti ini?" tanya ayah Juan pada sang istri.
Sang istri menggelengkan kepala. Dia tak percaya jika anaknya mampu melakukan hal seperti itu. Meskipun dia sendiri tahu, jika sang suami sangat tegas dan tak segan-segan menyingkirkan sesuatu yang tak dia sukai. "Tidak, anak kita tidak mungkin melakukan hal seperti itu."
Ucapan ibunya Juan dipercaya ayahnya Juan tanpa penyangkalan sedikit pun. Mereka berjalan ke arah parkiran untuk menyusul kepulangan Juan bersama Eisa. Namun, saat di parkiran, mereka malah menemukan Juan dan Eisa yang dibalut jas putih Juan. Keduanya berjalan terburu-buru dari arah taman. Dengan tangan Juan yang sibuk membantu mengusap wajah sang istri dengan sapu tangan miliknya.
"Juan! Eisa! Kalian ternyata belum pulang?" panggil ibu Juan.
Eisa tersentak kaget, mendengar suara sang ibu mertua. Dia diam-diam melangkahkan kakinya untuk bersembunyi di balik tubuh sang suami. Sementara Juan sendiri langsung menggeser, hingga tubuhnya menyembunyikan Eisa yang sibuk membersihkan bibirnya.
"Ya, ibu. Kami baru saja berniat pulang setelah berjalan-jalan di sekitar rumah sakit," jawab Juan.
Ayah Juan menatap sang anak dari bawah hingga ke atas. Setelah itu, dia memberitahu sembari menarik sudut bibirnya ke atas, "Ini sudah malam, dan istrimu sedang mengandung, Juan. Seharusnya kau membawa dia ke tempat yang hangat, bukannya malah berkeliaran malam-malam seperti kelelawar."
Ibu Juan mengangguk dan menepuk bahu sang anak. Setelah itu, dia melirik ke arah Eisa yang menunduk sembari meremas sapu tangan miliknya. "Lihat itu, apa Eisa baru saja merasa mual lagi? Dia pasti baru saja muntah kan?"
Juan tak bisa berbohong, di depan sang ibu. Namun, akhirnya dia tersenyum dan hanya memberi setengah dari fakta yang ada. "Ah, itu... istriku memang baru saja muntah. Apa yang dikatakan ayah memang benar, aku salah karena membawanya malam-malam seperti ini."
Ayah dan ibu Juan langsung menyuruh Juan untuk segera pulang. Tak lupa, Ibu Juan memberikan Juan minyak atsiri untuk menghangatkan tubuh sang istri. Setelahnya, kedua orang tua Juan berpamitan untuk masuk ke mobilnya, meninggalkan Juan dan Eisa yang mengeluarkan napas panjang.
Perlahan tapi pasti, jemari Juan merambat untuk menggenggam erat tangan sang istri. Setelahnya, mereka masuk ke mobil tanpa mengucap sepatah kata pun. Mereka membiarkan kecanggungan mengisi waktu pulang mereka. Sampai Juan akhirnya berkata, "Maafkan aku."
Eisa menggelengkan kepala. "Tidak perlu meminta maaf, lagi pula aku yang menawarkannya lebih dulu."
"Tapi Juan... itu... apakah di taman ada CCTV?" bisik Eisa khawatir.
Juan berpikir beberapa saat, mengingat-ngingat tempatnya bermesraan bersama sang istri. Setelah itu, dia berkata, "Sepertinya tidak ada. Lagi pula taman itu jarang ditempati, dan tak ada barang mewah di sana."
Eisa akhirnya bisa bernapas tenang. Dia memperbaiki jas Juan yang berada di dekapan tubuhnya. Sembari meneluknya sendiri. Hanya dalam satu lirikan, Juan mengetahui tubuh sang istri kedinginan. Pria itu menepihkan mobilnya ke tempat sepi, lalu mengambil minyak atsiri yang sudah diberikan sang ibu.
"Biar aku bantu oleskan sekarang saja," tawar Juan.
Eisa ingin menolak, tetapi tangan sang suami sudah lebih dulu menyingkap jas miliknya. Juan tak meminta izin, saat tangannya masuk ke baju yang Eisa sembari membalurkan cairan beraroma terapi. Pria itu mengusap lembut perut sang istri, tak lupa menyebarkannya ke atas dada Eisa, sampai wajah Eisa kembali memerah.
Setelah selesai memastikan anaknya merasakan sentuhan dan kehangatannya, pria itu merapikan pakaian sang istri, lalu mengecup lembut perut Eisa. Baru setelahnya bersiap untuk mengemudikan kembali mobilnya. Juan fokus mengendarai mobilnya, sementara Eisa sendiri fokus menenangkan debaran jantungnya yang tak bisa dia tahan lebih lama.
Akibat kehamilannya, perasaan hati Eisa terlalu cepat berubah-ubah. Padahal, sebelum menikah dengan Juan, keduanya sudah sering menghabiskan waktu dan bahkan saling menyentuh tanpa batasan. Namun, sekarang? Setelah hamil, dan menikah, Eisa merasakan perasaan aneh dan kenyamanan yang selama ini dia impikan.
Eisa mencoba untuk tetap tenang, tanpa menunjukkan perasaan gugupnya di hadapan sang suami. "Aku tidak mungkin mencintai Juan dengan mudahnya. Ini pasti karena hormon kehamilan saja. Ya, hormon. Bukan karena keinginanku sendiri!" jelas Eisa pada dirinya sendiri.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
MAMAFIA [Junhao] Republish
FanficCita-cita Eisa adalah menjadi seorang mafia disegani seperti sang Ayah. Namun, dia malah mengandung anak dari pewaris manja, yang sering dirisak saudaranya. Karena Eisa mengandung sebelum menikah, Eisa akhirnya diusir sang Ayah. Sementara orang yang...