Udara pagi yang sudah lama tidak Jeno rasakan, kini kembali menyapanya. Langkah kakinya terus membawanya keluar dari bandara.
Bayang-bayang wajah Zahra yang menangis saat dirinya pergi, kembali hadir dalam ingatannya. Senyumnya mengembang saat cahaya matahari mulai menyapa dikala kaki itu menapak lantai lobby.
Sebuah mobil mewah limited edition berwarna hitam berhenti tepat di hadapannya. Seorang lelaki berkulit putih bak susu turun dari dalam mobil.
"Ternyata gak susah cari informasi tentang lo."
Jeno cukup terkejut saat mengetahui pemilik mobil itu adalah Chenle. Tidak ada yang mengetahui tentang kedatangannya ke Indonesia.
Lalu, mengapa Chenle bisa ada di hadapannya sekarang?
"Lo terkejut? Santai man, kayaknya lo lupa kalau Sultan Chenle punya banyak mata-mata."
Jeno mengangguk menandakan bahwa dia lupa bahwa salah satu teman itu selalu mempergunakan kekayaan untuk hal-hal yang terkadang tidak penting.
"Oke, pas banget gue gak mau buang-buang uang buat pesan taksi. Jadi lo bisa antar gue kan?" tanya Jeno.
Chenle tersenyum dan mempersilahkan Jeno masuk ke dalam mobilnya.
"Of course, man."
"Kayaknya lo udah terinfeksi virus Bang Lucas," ujar Jeno menyindir.
Sudah lama tidak bertemu banyak perubahan yang terjadi pada diri Chenle. Laki-laki itu lebih banyak tertawa dan lebih bisa menjaga ucapannya. Padahal beberapa tahun yang lalu Chenle termasuk salah satu temannya yang memiliki mulut pedas kedua setelah Renjun. Chenle lebih galak dan semua keputusannya tidak boleh ditolak oleh siapapun.
Namun lihat sekarang, laki-laki di samping Jeno itu sangat murah senyum dan suara tertawanya semakin mirip hewan mamalia air (dolphin :v)
"Gimana London?"
"Dingin."
Chenle melirik sekilas Jeno. "Ya kan musim dingin. Maksudnya lo disana gimana? Berhasil kan berobatnya?"
"You can see me now, man. I'm more than good."
"Oh oke-oke, jadi sekarang kalau mau ngobrol sama anak London harus pakai english, right?"
Jeno tertawa melihat wajah kesal Chenle. Dia memang sudah terbiasa berbahasa Inggris di London dan mungkin kebiasaan itu terbawa sampai ke Indonesia.
"Gue yakin pasti Zahra senang kalau tau lo udah balik," ujar Chenle lagi.
Senyum Jeno perlahan memudar. Ada rasa khawatir dalam hatinya, ia takut dirinya kembali tidak bisa dikontrol jika bertemu dengan Zahra dan juga ada ketakutan lainnya yaitu dia takut permohonannya dua hari yang lalu—di saat salju pertama turun tidak terkabulkan.
"Oh i'm sorry. Kayaknya gue salah bicara," tutur Chenle setelah menyadari perubahan ekspresi di wajah sahabatnya.
Chenle menghentikan mobilnya tepat di depan rumah besar bercat putih di kawasan perumahan elite.
"Kayaknya nyapa sebentar bisa kan? Setelah itu gue antar lo pulang."
Jeno menghela napas pelan dan mengangguk. Tak ayal dia juga merindukan pemilik rumah itu. Jeno segera turun menyusul langkah besar laki-laki di depannya.
"NANAAA MAIN YUK~~"
Jeno memukul lengan Chenle sedikit keras. Bukan seperti akan bertamu ke rumah orang, justru Chenle mirip anak kecil yang ingin mengajak bermain temannya. Sungguh tingkahnya tidak mencerminkan seseorang yang sudah dewasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mask | Jeno ✔️
Fiksi Remaja[END] Bukan tentang rasa yang muncul tiba-tiba, tetapi tentang obsesi yang berubah jadi cinta. "Sakit, Jen .... Lo cuma obsesi, lo nggak cinta sama gue!" "Gue cinta dan selamanya akan sama seperti itu." *** Jeno Razka tidak rela bila sahabatnya seka...