Hari kedua setelah Arhskyla siuman, di hari itu juga Nayla akhirnya tertangkap saat hendak check out di salah satu hotel pinggiran kota. Umur Nayla yang sudah 18 tahun membuatnya jadi tahanan di penjara umum. Dinathama tidak membiarkan semuanya berjalan damai meski Nayla anak tirinya. Yang Eltham yakin Nayla tidak mungkin lolos dari jeratan hukum.
"Calila apa kabar?" tanya Arhskyla setelah minum obatnya.
"Masih tetap sama seperti terakhir kali kamu jenguk," jawabnya dengan senyum sendu. "Setidaknya sekarang dia gak terlalu kesepian, selain aku sekarang ada Jack yang nemenin dia."
"Jack?"
"Teman baru dia."
Arhskyla mengangguk, matanya kembali terpejam dengan kernyitan samar. Lagi-lagi rasa pusing itu muncul.
"Pusing lagi? Tiduran aja yah."
"Boleh."
Eltham menekan tombol di pinggir brankar. Secara perlahan brankar itu mundur tidak lagi sedikit tertekuk. Melihat Arhskyla menyamankan dirinya pada bantal membuat nya khawatir dan lega secara bersamaan. "Aku temenin sampai papa kamu datang."
Arhskyla membuka kelopak matanya perlahan, dia menatap lurus Eltham yang kini memperbaiki letak selimut nya. "Papa... Apa dia ngomong sesuatu sama lo?"
Cowok itu mendudukkan dirinya di kursi samping Arhskyla terbaring. "Ah, ini sebenarnya ingin aku omongin dari kemarin. Papa kamu tahu kalau kita nyembunyiin Ares."
"Bukan hal mengejutkan, apa dia tau dimana kita sembunyikan Ares?"
Eltham menggeleng, "dia cuman nanyain keadaan Ares."
"Masih perduli rupanya," komentar Arhskyla datar.
"Arhskyla..." Eltham mendekat kan duduk nya pada Arhskyla, lalu menggenggam tangannya. "Ada yang gak sengaja aku dengar dari papa kamu."
"Apa?"
"Aku gak sengaja dengar papa kamu nangis disini saat kamu belum sadarkan diri. Yang aku tangkap dari omongan om Dinathama, dia punya rencananya sendiri buat balas orang-orang yang udah jadi pemicu hancurnya keluarga kalian... Termasuk diri nya sendiri. Dan juga dia bilang dia mencintai kalian."
Arhskyla terkekeh sinis, jujur saja dia tidak mempercayai kedua hal itu. "Itu cuman omong kosong. Seharusnya dia ngelakuin itu sebelum semuanya hancur, bukan setelah semuanya hancur. Entah Susan, dia, atau mungkin mereka kerja sama buat bunuh mama, gue akan tetap benci keduanya. Masa bodo dengan apa yang dia lakuin sekarang, gue akan tetap benci keduanya sampai kapanpun."
Arhskyla memejamkan matanya dengan nafas tidak tenang. "Hanya dalam waktu satu setengah tahun gue kehilangan segalanya. Hal yang gue anggap keutuhan keluarga hancur begitu saja karena orang ketiga, bukannya memperbaiki dia malah milih buang kita demi Susan. Saudara kembar gue kecelakaan dan sampai sekarang dia masih koma. Tiga bulan setelah Ares kecelakaan sepulang sekolah gue nemuin mama gue dalam keadaan udah gak bernyawa lagi. Berkali-kali gue juga menyaksikan detak jantung saudara kembar gue berhenti. Dinathama ada dimana saat gue ngalamin semua itu?! Cinta dia bilang?"
Tangan Arhskyla yang terinfus menghapus kasar air matanya sendiri, Eltham menghentikan usapan kasar Arhskyla dengan tangan sendiri. Eltham mengusap lembut pipi Arhskyla yang terus basah dengan lelehan air mata.
Arhskyla memejamkan sesaat matanya, tangan yang terinfus menggenggam tangan besar Eltham yang berada di wajahnya. "Baik gue, mama, ataupun Ares, iklas akan perceraian yang di ajukan papa. Kita gak berusaha buat halang-halangin dia bersatu dengan Susan. Tapi kenapa mereka bisa setega itu? Mama salah apa sampai harus di bunuh. Apa gak cukup mereka jadi penyebab secara gak langsung Ares koma?! Kenapa harus mama juga di ambil?"
Eltham menarik Arhskyla kedalam pelukannya, tanpa bisa dicegah air matanya ikut tumpah melihat keputusasaan serta luka dari pandangan Arhskyla membuatnya merasakan kesakitannya juga.
Arhskyla memiringkan tubuhnya, dia meremas permukaan kaos Eltham. Untuk kesekian kalinya Arhskyla menumpahkan semua rasa sakit yang dia pendam di pelukan Eltham-- cowok yang selalu berhasil membuatnya tersenyum tanpa sadar setelah hatinya terasa mati.
"Mereka juga bunuh calon adik gue Eltham," adu Arhskyla melirih.
Tubuh Eltham menegang. Apa maksud dari perkataan Arhskyla barusan? Tak ingin mengintrufsi, Eltham memilih tetap menjadi pendengar yang baik. Cowok itu semakin merengkuh Arhskyla tapi dengan penuh kehati-hatian, mengingat luka di kepala nya masih basah.
"Kalau karma itu benar-benar ada, gue sangat berharap orang yang bunuh mama juga terbunuh."
Eltham kembali membiarkan Arhskyla terisak, sampai akhirnya isakan itu tidak lagi terdengar. Arhskyla terlelap dalam tangisnya. Dengan perlahan Eltham melepas pelukannya, dia memposisikan tidur Arhskyla senyaman mungkin versinya.
Tidak lagi terdengar isak tangis, membuat orang yang sedari tadi berdiri di ambang pintu yang sedikit terbuka memundurkan langkahnya. Dia berbalik dengan rasa sakit, penyesalan dan kebencian yang sudah tidak bisa lagi ditampung. Pria dengan setelan jas itu melangkah terburu-buru keluar dari rumah sakit. Dia mendengar semuanya.
*#*#*#*
Seminggu berlalu sejak dia sadarkan diri setelah dibawa ke rumah sakit, dan selama itu pula Eltham selalu menemani Arhskyla sepulang sekolah. Beberapa orang yang di kenalnya juga datang menjenguk, meski sedikit terganggu dengan kedatangan mereka yang terus menerus membahas Nayla yang kini menjadi tahanan.Jangan tanyakan tentang papa nya karena, pria itu tidak lagi menunjukkan batang hidungnya sejak hari pertama dia sadar.
Hari ini dia sudah diperbolehkan pulang ke rumah, dan Eltham lah yang mengantarkannya. Cowok itu benar-benar menepati ucapanya untuk selalu ada bagi Arhskyla. Eltham bahkan beberapa kali menginap dan tidur di sofa karena tidak tega membiarkan nya sendiri.
Arhskyla menatap tangannya yang Eltham genggam sambil mengemudi. Perasaan yang ia tolak kehadirannya semakin jelas terasa, sebelumnya Arhskyla pernah menjawab ungkapan sayang Eltham, dan itu memang benar jika Arhskyla juga menyayangi Eltham. Lalu apakah juga cinta? Jawabannya Arhskyla sendiri tidak tahu. Yang jelas dia merasa aman dan nyaman saat Eltham bersamanya, tidak lagi ada kata terganggu atau risih saat berada di dekatnya. Arhskyla telah menerima kehadiran Eltham sepenuhnya.
"Eltham," panggil Arhskyla saat mobil yang Eltham kendarai berhenti di lampu merah.
"Hm, kenapa?"
"Kalau udah sampai rumah jangan dulu pulang."
"Boleh." Lampu merah berubah menjadi hijau, mobil putih itu kembali melaju. Eltham yang sebelumnya melepas genggamannya kembali meraih tangan Arhskyla.
"Gue cuman mau ambil barang-barang gue. Mulai hari ini gue gak lagi tinggal bareng mereka."
Eltham melambatkan laju kendaraan nya, dia menatap Arhskyla dengan sendu. "Arhskyla..."
"Jangan tatap gue kaya gitu." Arhskyla mengalihkan pandangannya dari Eltham, punggung nya dia sandarkan sepenuhnya pada jok mobil. "Nanti gue tinggal di apartemen sebelumnya."
Tanpa sadar Eltham meremas tangan Arhskyla, dia tahu apartemen sebelumnya yang Arhskyla ucapkan, dan Eltham tidak akan membiarkan Arhskyla tinggal disana. Tempat itu bagai saksi bisu dari pembunuhan yang terjadi pada Arista.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH ✓
Teen FictionTentang Eltham yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semuanya berawal dari rasa penasaran Eltham pada gadis bermata indah yang menggagalkan percobaan bunuh diri sepupu nya. Memenuhi rasa penasarannya Eltham nekad pindah sekolah, dia memanfaatkan s...