Dengan penuh kehati-hatian Arhskyla membersihkan tubuh Arehsky, dia di bantu oleh beberapa perawat. Setelah selesai dan memakaikan baju pasien kembali, ia memberikan peralatan yang di gunakan untuk membasuh itu pada suster yang berjaga tak jauh darinya.
Arhskyla menjauh dari tempat saudaranya terbaring koma, ia memberikan jalan agar dokter memeriksa keadaan saudaranya.
Dokter Ramzi menunjukkan ekspresi yang sama seperti seminggu lalu.
"Saya paham," selanya sebelum sang dokter menjelaskan hal yang sama seperti seminggu lalu—— penjelasan yang selalu sama dalam satu tahun terakhir ini. "Kalian bisa tinggalkan kami."
Mereka undur diri, lalu keluar dari ruangan itu.
Arhskyla kembali mendudukan dirinya di samping brankar tempat tempat kembarannya terbaring koma itu. Dengan helaan nafas Arhskyla membuka flatshoes nya, ia menaikan kedua kakinya ke kursi, lalu memeluk lututnya sendiri.
"Kapan Res?" tanya Arhskyla lirih. Dia menatap alat-alat penompang hidup yang terpasang ditubuh Arehsky. "Mereka masih bisa bahagia dan tertawa setelah kematian mama. Keterlaluan bukan?"
Arhskyla menggenggam tangan Arehsky yang terasa dingin. "Gimana kalau kita tukeran aja? Gue yang tidur disini, dan lo yang balas semua perbuatan mereka."
Helaan nafas keluar dari mulutnya. "Gue gak sekuat yang lo kira Res, gue ngerasa kalah bahkan sebelum semuanya di mulai." Kepalanya mendongak menatap langit-langit rumah sakit.
Arhskyla tersenyum sinis saat mengingat kata-kata Eltham. Kata-kata yang membuatnya tersadar, jika yang sering dia lakukan bukan lah menyendiri. Dia kembali menatap saudara nya. "Please jangan tinggalin gue, lo harus bangun.... Gue butuh lo. Sangat."
Ia menoleh ke arah jendela dengan pandangan menerawang. "... Tapi kalau lo pergi, gue juga bakal pergi."
*#*#*#*
Sudah hampir dua bulan ia pindah ke SMA De Hoogste.
Masih belum ada kemajuan, setelah obrolan tempo hari di ruang musik yang di akhiri dengan sama-sama menggantungkan pertanyaan masing-masing. Hubungannya dengan Arhskyla hanya sebatas teman sekelas yang lumayan dekat.
Gadis itu sulit di dekati. Seperti ada tembok tak kasat mata yang menjadi batas.
Mau tak mau Eltham harus datang ke acara yang di adakan kakeknya malam ini, karena Abraham juga mengundang Arhskyla untuk perform sebagai pianis. Semakin banyak intensitas pertemuan nya dengan Arhskyla, semakin besar pula kesempatan Eltham bisa menembus tembok yang gadis itu bangun. Semoga saja.
Eltham keluar dari area parkiran begitu melihat Arhskyla yang baru saja melewati gerbang utama.
"Arhskyla, selamat pagi," sapa Eltham dengan senyum khasnya begitu ada di dekat Arhskyla.
"Pagi," jawabnya datar. Keduanya lalu melangkah beriringan.
"Malam ini lo ada acara?"
"Gue ada perform," jawab Arhskyla jujur.
"Tau kok, kan kakek gue yang ngadain acaranya," ujar Eltham dengan bibir berkedut menahan geli saat mengakui jika dirinya sendiri sedang berbasa-basi.
Gadis itu merotasi kan bola matanya. "Basa-basi yang basi."
"You right. Mungkin aja lo mau jadi partner gue di pesta berkedok acara amal itu," ucapnya blak-blakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EPOCH ✓
Teen FictionTentang Eltham yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Semuanya berawal dari rasa penasaran Eltham pada gadis bermata indah yang menggagalkan percobaan bunuh diri sepupu nya. Memenuhi rasa penasarannya Eltham nekad pindah sekolah, dia memanfaatkan s...