EPOCH ~ 40

172 10 0
                                    

"Aku temenin kamu kedalam yah?" Entah keberapa kali Eltham mengulangi kalimat yang sama.

Arhskyla yang baru saja membuka sabuk pengaman nya menatap jengah kehawatiran Eltham yang berlebihan. "Gak usah El."

"Tapi___"

"Eltham... Kan udah aku jelasin, aku harus ngomong berdua sama dia," potong Arhskyla cepat.

"Iya paham, aku cuman nganterin sampai depan ruangan om Dinathama, gak sampai ikut masuk."

"Kalau kamu maksa ikut setelah ini aku gak akan lagi tinggal di apartemen kamu." Arhskyla melembutkan pandangan, sangat berbanding terbalik dengan perkataan bernada ancamannya.

Eltham menghela nafasnya, kedua sudut bibirnya tertekuk ke bawah, "jangan.... Yaudah aku tunggu disini."

Arhskyla menggeleng, "ini akan lama, mending kamu pulang aja."

"Tapi kalau kamu pulang harus minta jemput oke?"

Arhskyla berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk.

Sementara disisi lain, di ruangannya Dinathama disibukan dengan berbagai macam berkas. Pikirannya seminggu belakangan ini semakin kacau. Dan semua itu karena perbuatannya sendiri dimasa lalu.

Penyesalan memang tidak pernah muncul di awal.

Andai saja dulu Dinathama tidak terhasut omongan Susan yang merupakan fitnah pada mendiang mantan istrinya, hingga membuat Dinathama marah dan berakhir menceraikan Arista, semuanya pasti akan baik-baik saja.

Dinathama merindukan semua hal yang pernah terjadi dihidupnya saat masih bersama Arista.

Sudah seminggu dia tidak pulang ke rumah dan tinggal di hotel, selama itu pula di sela-sela kesibukan kantornya Dinathama selalu menyempatkan diri menyelidiki ulang kasus bunuh diri Arista, tentunya dia juga menyewa beberapa detektif untuk membantunya.

Dia memang menemukan banyak kejanggalan dari kematian Arista, tapi semuanya selalu berakhir buntu. Karena terlalu sibuk, dia bahkan tidak bisa menyempatkan diri menjenguk putrinya di rumah sakit.

Untung saja ada cucu dari Abraham yang selalu menjaga Arhskyla saat dia tidak ada.

Lamunannya terbuyarkan saat pintu ruangannya di ketuk dari luar. Ekspresi wajahnya mendadak kesal, apa sekarang sekertaris nya jadi orang yang pelupa? Padahal setengah jam lalu dia memberi pesan agar tidak mengijinkan siapapun masuk ke ruangan nya.

Wajah kesalnya berubah seketika melihat siapa orang yang masuk ke ruangan setelah mengetuk pintu.

"Boleh aku masuk?"

Dinathama mengangguk. Ini adalah pertama kalinya Arhskyla berinisiatif mendatanginya terlebih dahulu setelah perceraiannya dengan Arista, jadi tidak mungkin dia melarang putri kesayangannya masuk.

Arhskyla berdiri disebrang meja kebesarannya, gadis itu terlihat tenang seperti biasanya. Ketenangan yang membuatnya teringat pada mendiang ayahnya sendiri yang telah meninggal sejak Dinathama masih di bangku SMA.

"Ada mau aku omongin," ucap Arhskyla begitu serius.

Dinathama mengagguk. Dia meletakkan pulpen yang sebelumnya hanya dia genggam ke atas tumpukan berkas, lalu beranjak ke sofa yang tidak jauh dari meja kerjanya, tentunya Arhskyla mengikuti.

"Ah iya, mengenai persidangan Nayla kamu tidak perlu hadir sebagai saksi. Dia tetap akan mendapat hukuman nya," ujar Dinathama setelah keduanya duduk. Arhskyla mengangguk sebagai jawaban.

"Sebelum aku menunjukkan sesuatu ke papa, aku ingin papa jawab sejujur mungkin alasan sebenarnya papa selingkuh dan membuang kami semua demi Susan."

EPOCH ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang